( Dia Mahasiswi Pindahan )
Sebut dia Layla, mahasiswi pindahan dari kelas Z bahasa. Tiga hari yang lalu teman-teman sudah meriuhkan akan datang dan menetapnya dia di kelas kami. Entah alasan apa dan bagaimana aku tak tahu. Tapi yang pasti sejak kehadirannya di kelas, aku semakin semangat saja mengisi absensi, biasanya sering alfa, izin, atau pun dengan alasan sakit, tapi sekarang mulus. Dan yang tak kalah penting hari-hariku makin terasa beda pula. Jangankan di kelas saat mata ini bisa melihat kehadirannya, di rumah pun harus gelisah dulu untuk bisa tidur lelap. Matanya yang agak sipit, kulitnya yang putih ditambah rambutnya yang ikal terikat ke belakang dan senyumnya yang mampu menghampakan dadaku. Singkatnya membuatku suka, begitu.
Dan nampaknya tak sedikit teman kelasku kaum lelakinya yang terkagum akan kehadiran Layla. Mereka semua juga sering melirik-lirik Layla terutama saat dalam kelas. Seakan-akan pandangan mereka ditumpuk padanya. Penjelasan Dosen kadang menerobos di telinga kanan yang kemudian hilang ditelinga kiri, apalagi dosen yang sedikit over kalau sedang menjelaskan, maka suara beliau hanya akan berhamburan di ruangan tanpa sedikit pun masuk pada telinga mereka. Termasuk aku juga meski hanya terkadang.
Beberapa hari kemudian, aku melihatnya di lantai dua sedang duduk di sebuah kursi. Tak jarang memang kebanyakan mahasiswa yang lain kalau tengah butuh suasana santai saat menunggu jam kuliah selanjutnya, biasanya mereka menarik kursi ke sudut luar dari kelas untuk merasakan udara sejuk. Tapi kali ini yang kudapati dengan buku yang tengah dibacanya adalah Layla. ‘Subhanallah’ gumamku, kesempatan besar bagiku untuk lebih dekat dengannya, ada kursi kosong di sampingnya. Aku melangkah mengahampirinya. Iseng-iseng kuluncurkan kalimat-kalimat tanya setelah ku duduk di sampingnya, sebagai awal komunikasi. Untung dia menanggapinya dengan sikap yang nyaman. Aku makin senang saja.
Perlahan kutarik perbincanganku dengannya ke topik yang seakan agak sedikit menyidik.
“Kira-kira nggak ada yang marah nih kalau ada yang lihat kita di sini?”. Kataku menyelidik sangat penasaran tapi aku masih sedikit gugup.
“Ada yang marah?. Ya nggak lah, ada-ada saja kamu”. Timpalnya tertawa.
“Ya siapa tahu pacarmu gitu”.
“Pacar?”. Seakan menanyakan sungguh padaku, tapi kutahu itu hanya basa-basinya. “Wong aku nggak punya pacar kok. Lagian sudah bosan buat menjalani hubungan seperti itu. Kalau pun aku tertarik untuk menjalani hubungan, mungkin aku ingin yang serius sampai nanti, seserius aku kuliah”. Seraya tersenyum.
“Alhamdulillah”. Kataku tak bersuara, bahagia sekali rasanya. Seperti masih tak percaya. Pertama, aku bisa bicara nyaman dengan sosok yang kudambakan ini meski aku sangat gugup dan sedikit salah tingkah, jantungku pun makin kucar-kacir. Kedua, Layla tak punya pacar, berarti aku masih punya kesempatan kalau begitu. Aku bertriak ‘yes yes yes’ dalam hati.
Layla menatap ekspresi wajahku, seperti penasaran dengan gerak bibirku tadi. Namun alih-alih aku membicarakan hal-hal lain sekaligus menutupi rasa gugupku.
Ternyata kata-kata Layla membuat aku mulai menyadari arti kesungguhan dalam hidup. Aku jadi termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih serius seperti dalam kuliahku. Selama ini aku hanya bisa dikatakan setengah-setangah. Maka mulailah aku bersungguh-sungguh entah dalam aku belajar, maupun aku meraih Layla tentunya.
Tak ayal, aku bisa mengubah IPku yang biasanya mendapat C, kuganti menjadi B. Bahkan mata kuliah yang biasa mendapat B kutarik perlahan menjadi A. Meskipun bukan A plus. Tak apa lah bagiku.
Setelah kedekatanku makin kental saja dengannya. Pulang, berangkat kuliah, pergi membeli buku, makan dan sebagainya bersamaku, aku semakin tak tahan dengan sesuatu yang mengganjal di hati. Ingin segera kutepiskan hal ini kepadanya. Aku benar-benar telah menginginkannya.
Namun sejak kampus diliburkan selama seminggu karena adanya festival lomba mengarang sekabupaten untuk tingkat SMA. Aku jadi tak mendengar kabar Layla. Iseng-iseng kucoba suatu hari menelponnya, tapi percuma, handphonenya pun tak dapat kuhubungi. Aku jadi khawatir dengan keadaan ini yang bercampur dengan rinduku padanya.
Lalu setelah kuliah aktif kembali semangatku pun seperti terkobar dalam dada. Pertama, aku rindu dangan setiap mata kuliahku. Jika ada yang bertanya ‘sejak kapan?’, kujawab sejak aku mengenal Lyla. Tidak saja kata-katanya atau pun ketertarikanku padanya, namun dia benar-benar mengajariku, mangajakku dan membuatku bersentuhan langsung dengan sebuah kesungguhan. Pantasnya kuucapkan terima kasih padanya. Dan itulah yang mebuatku semakin pula ingin menyatakan keseriusan perasaan ini. Aku tak salah jatuh hati pada seseorang yang bisa mebawaku ke dalam hal yang positif. Dan yang Kedua, aku ingin melepas rindu dan berjuta tanya dalam hatiku kepadanya. Menyatakan isi hatiku padanya, memastikan seperti apa isi hatinya untuk aku.
Di pagi yang cerah, menggebu-gebu rindu pada setiap sudut peristiwa. Aku berangkat kuliah. Kali ini terpaksa aku harus singgah sendirian di halaman kampus. Yang biasanya dengan Layla, namun karena aku tak bisa menghubunginya aku khawatir dia tak juga ada jika kusinggahi ke rumah kostnya. Turun dari motorku, aku langsung meluncur mencari Layla, namun setelah kucari deberbagai tempat, baik di kelas yang masih kosong maupun tempat-tempat yang biasa menjadi kenyamanan Layla bersantai ternyata tak kudapati dia.
Aku terdiam sejenak di teras kelas sambil melihati wajah temn-teman yang mulai memasuki kelas. Tak ada sosok Layla yang aku tunggu. ‘Kemanakah kau La?’ pikirku. Sekilas kupejamkan mata, lelah rasanya. Tak lama terlintas di benakku seseorang. Maya. Ya, Maya adalah teman akrab Lyla juga. Dia yang sekost-an dan juga tahu banyak tentang Layla.
‘kemana si Maya?’. Umpatku sambil mengawasi kelas setelah aku berada di depan pintu. Kulihati satu persatu diantara teman-teman yang kukenal sebelum masuk, masih belum kudapati Maya dalam penglihatanku. Perlahan aku masuk, ternyata di kursi pojok paling belakang kulihat itulah orang yang kucari. Tanpa basa-basi menuju ke arahnya.
“May, Kamu tahu Layla dimana?”. Sepatah kata yang tergesa-gesa keluar dari mulutku setelah aku berdiri di depan Maya.
Maya hanya menatapku, seperti sudah lebih memahamiku. Kami berpandangan lama tanpa makna. Tak lama, ia mengambil amplop warna hijau dan menyodorkannya padaku. “Semua jawabannya ada di situ”. Jelasnya setelah kurangkul amplop itu darinya.
Maya pun beranjak dari hadapanku entah kemana, meninggalkanku yang masih mematung memegangi ampop warna hijau itu.
Kubuka perlahan. Masih dengan seribu tanya di dadaku. Kubaca isinya dengan
jiwaku:
Adi…
Kuawali kalimat ini dengan kata maafku kepadamu…
Kedekatan kita bagiku adalah keindahan yang kemudian aku terpaksa harus mengatakannya padamu, AKU MENYAYANGIMU meski harus menjadi sebuah keindahan yang akhirnya kulepas dalam tidurku. Maafkan aku, perasaanku kubawa pada kehidupanku dengan seseorang yang telah menjadi pilihan kedua orang tuaku. Apapun yang kau rasakan untukku, izinkan aku menjadikan semua itu hal terindah dalam hidupku…..
Layla Astu
Aku semakin kokoh mematung, kosong rasanya. Seperti kehilangan berat di badanku setelah kupahami isi dari surat itu. Seakan aku ingin sekali berlari jauh. Jauuuh sekali entah kemana sampai kumerasa lelah kemudian teriakkan nama Layla. Tapi kuasaku masih sanggup menahan semua, mengendalikan emosi, ego dan obsesi meski tanpa terasa air mata mengintip dipelupuk mataku seiring dengan rintihan kecil di hatiku. ‘aku mencintaimu Laylaku’.
19 Oktober 2010
Karya : Imron Rosady 3b pbsi
Sekolah : STKIP Sumenep