Pada selubung duka yang masih menyelimuti keluargaku, aku terdiam. Bibirku masih bergetar hebat, tanganku geram mencengkram. Airmataku tidak mau mengalir meski sudah kukejapkan mataku sampai kelopak bawahku terasa begitu menebal. Begitu banyak rangkai bunga belasungkawa yang dikirim hari ini. Tembok ungu muda ruang tengah masih dihiasi suara mengaji ibu-ibu Majlis Ta`lim semenjak kemarin. Lengan Tary masih lembut merengkuhku, teman-temanku masih mengerubungi. Kepergian Oscar yang kusaksikan sendiri membuatku seperti dipaku dalam satu memori yang sama. Aku ditahan Sang Waktu. Seakan begitulah caraku menebus dosa.
“jangan terlalu disesali, lah!” celetuk Eiji tanpa emosi dalam suaranya. “kasian Oscar!”
“hey! Kalau bicara diayak sedikit, dong!” Luthfi meninju lengan anak itu.
“maaf.” Eiji tersenyum setengah ikhlas.
“semua ini toh bukan salahmu.” Tary mulai mengelus bahuku. “kematiannya diluar apa yang kau bayangkan, kan?”
Aku masih tidak bisa menjawab semua perkataan teman-temanku.
Ayah juga bilang hal yang sama padaku. Ibu memilih abstain unuk berkomentar. Kematian Oscar bukan salahku. Tetapi ayah tidak mengerti apa yang terjadi malam itu.
Aku yang saksikan dirinya bertarung!
Aku ingin menolong, tetapi terlalu kelu untuk berkata. Terlalu kaku untuk membela. Terlalu takut untuk memberontak……
Rencananya Oscar akan dimakamkan besok pagi. Ia masih ada diruang tengah, berada dalam pusat kerumunan ibu-ibu yang kelihatan sudah lelah mengajikannya. Aku melihat Ibu yang dengan lembut mengusap rambutnya yang merah kasar itu, ekspresi pada wajah beliau tidak mampu aku utarakan. Ayah sudah mampu mengendalikan diri. Yah, memang sudah seharusnya seorang laki-laki mampu mengendalikan emosinya disaat seperti apapun.
Lututku ikut gemetar, seperti rahangku yang bergemeletuk. Aku terlihat seperti orang yang kedinginan. Aku basah, kuyup, dingin, gigil habis diguyur duka satu kali dua puluh empat jam. Otakku tak mampu mengolah setiap data yang didapatnya dari pancainderaku. Genggaman tangan Tary bahkan tidak terasa apa-apa.
Aku kebas, aku mati rasa!
“kamu mau katakan sesuatu buatnya sebelum ketemu Munkar-Nakir, Jri?” tanya Eiji sambil berlutut didepanku, wajahnya mengiba.
“ah…..” aku berusaha keras mengatup rahangku. Sebisaku kutahan rasa gemetar hebat ini. Kureguk ludahku, dan perlahan kepalaku mengangguk.
“mau dibantu?” Tary menoleh padaku, kelihatannya khawatir.
“terima kasih.” Ucapku pada akhirnya.
Para ibu-ibu itu masih membacakan surat Yasin buat Oscar. Kuseret kedua tapak kakiku diatas lantai yang beku dan berlutut perlahan didepan jasadnya. Wajahnya sudah disekonstruksi rumah sakit, meski aku ingat raut terakhir yang kulihat dari wajahnya yang imut itu. Rambut merah kasarnya sudah berantakan lagi, diacak-acak ibuku. Aku menoleh kearah Ayahku tanpa maksud yang bisa kuterangkan. Beliau cuma mengangguk sembari memberiku senyum kecil yang hangat. Tanganku terjulur, buku jariku menekuk dan menyentuh ujung kulit pipinya yang terasa seperti daging beku. Tetapi ada suatu selubung yang terasa panas dan tebal ditanganku. Aku menoleh,
Ibuku menampar lenganku.
“jangan sentuh anakku, pembunuh!” desisnya sinis.
“Bu…..aku….” ah, sial! Lagi-lagi pembendaharaan kataku pecah.
“pergi!” bisiknya. Aku berani sumpah ada kilat kebencian dari matanya.
“tapi…..”
“pergi!” ulang beliau. Aku ciut. Seperti mendapat gertakan halus dari seekor setan. Tary membantuku berdiri, dan mendudukkanku kembali dibalai bambu depan rumah.
“sudah?” tanya Eiji, berdiri untuk memberikan Tary tempat duduk.
“gagal.” Tary mewakiliku berbicara.
Hening.
Kekosongan dialog diisi dengan gaungan ibu-ibu Majlis Ta`lim yang beradu dengan hentakan air hujan yang memukul atap rumah. Sayup angin dingin menusuk sumsum tulang belakangku dan gemuruh halilintar mencabik aortaku, membuat degup jantungku tak sesuai dengan simfoni. Konduktor-nya pasti marah.
“er….aku ke kamar mandi, ya!” Eiji menyelinap kesamping rumah.
“aku mau bantu didapur. Kamu mau ikut, To?” tanya Tary pada anak yang bersandar dipintu rumahku.
“eh, oh….” Bocah Batak itu terkesiap. Dia melihatku dengan pandangan tidak enak hati. Ia mengangguk dan menggamit ujung lengan kaus Tary.
Aku ditinggal dengan Luthfi. Anak itu duduk disebelahku. Hujan mengguyur deras, rumahku jadi sesak karena banyak pelayat yang tidak bisa pulang sementara yang lain banyak berdatangan. Pandanganku masih belum lepas dari wilayah luar rumah. Kucuran air langit.
“hujan terus. Aku gimana pulangnya, nih?” anak itu membuka keheningan.
“bulan Desember.” Aku menjawabnya dengan nada gamang.
“musim hujan, ya? Aku tahu. Soal dia…..boleh tau?”
“nggak. kukasih tahupun, dia nggak bakal hidup lagi.”
“Fajri, Fajri!” Luthfi mendengus. “terserah, sih! Cuma, kalau kamu gila jangan cari aku, ya! seenggaknya aku udah berusaha bantu.”
“cih, bantu apa?” ucapanku sepedas lada hitam, menggetir diujung lidahku.
“beban mental.” Luthfi menggedikkan bahunya.
“memangnya kamu mau percaya?”
Luthfi menopang dagunya, “setahuku, orang yang sedang down to earth kayak kamu mustahil untuk mendramatisasi, hiperbola ataupun bohong.”
“sok tahu.” Cibirku.
Hening lagi.
Mataku terpejam pelan-pelan, lalu aku melihat lagi pemandangan yang sama. Hujan diluar rumah, namun sedikit terkesiap. Ada rasa aneh, gemetar dalam tubuh yang mengebaskan seluruh otot tubuhku, merobek-robek bilik jantungku.
“aku sama Oscar bertengkar malam itu.” hanya itu yang terlontar dari tenggorokanku.
Malam kemarin, Ibu menjenguk Paman Edo yang sakit ke rumahnya diselatan Bandung dan Ayahku belum pulang kerja. Aku hanya berdua dengan kakak lelakiku, Oscar. Ia beda satu tahun denganku, dan semua orang juga tahu kami memang kurang akrab. Jika kami bertengkar, ayah akan menampar wajah Oscar dan mengguyurnya dikamar mandi. Namun jika kami berkelahi, ibu akan menyeretku keluar dari rumah.
Kemarin malam, aku ingat Oscar menghantam wajahku dengan ujung kemoceng. Lalu aku mendorongnya kedinding. Oscar menjambak rambutku hingga terserabut, lalu aku menendang perutnya. Kami bergumul dilantai, buku jari kami sama-sama mengepal dan saling menghajar.
“berkelahi kenapa?” tanya Luthfi memotong.
Aku mengejap mataku, mengoreksi lagi historial otakku malam itu. Namun seberapa banyak aku mengingat, alasan itu semakin jauh, jauh dan aku bahkan tak mampu meraihnya meski lenganku sudah kujulurkan.
Tuhan, bahkan aku tidak ingat malam itu kami mempertengkarkan apa!
Kuharap bukan masalah sepele!
Aku tidak tahu apakah aku kesetanan atau hanya sekedar emosi sesaat. Aku menghajar Oscar seakan dia telah melakukan sesuatu yang tak termaafkan. Tipikal temperamental Oscar sudah banyak menumpuk kejengkelan dihatiku, yang mengapang, menjamur menjadi dendam yang tumbuh subur dan berakar tunggang dalam nuraniku. Aku ingat sekali, aku menghantam pipinya yang montok itu dengan tinju kananku yang otot lengannya sudah menegang, menahan segala kecamuk dalam emosi.
Oscar mendorongku dan aku terjungkal sampai menubruk tembok ruang tengah. Meja perabotan dekat sana berguncang dan seluruh isi keranjang-alat-makan tumpah kelantai. Bunyi gemerincing aduan alat makan dan lantai berluruh dalam geraman Oscar yang penuh dengan amarahnya yang belum tertuntaskan. Tangan besarnya mencengkram laringku. Nafasku tercekat, dan mulutku membuka, melirih. Aku bisa lihat kilat kebencian dari dua matanya yang bulat.
Tanganku menggapai-gapai, aku meraih sebuah pisau buah. Kuharap benda itu bisa melukai tangan Oscar agar melepaskan cengkramannya. Kurasakan aku mulai melenguh kesakitan, dengan wajah yang mungkin sudah membiru. Airmataku mengalir dengan mata terpejam. Tangan gemetarku bergerak, tubuhku bereaksi melindungi diri. Kuhujamkan pisau buah itu pada Oscar. Tidak sekali,
Dua, tiga, empat……sampai cengkraman Oscar merenggang.
Ketika udara bisa melewati laringku, aku membuka mata dan menguasai diri. Kudapati diriku bersimpuh dalam serakan helai merah flamboyant yang membanjir dilantai. Desirnya hangat, dan begitu menusuk. Rahangku gemelutruk, mataku membelalak seperti hendak keluar dari rongganya. Lututku berguncang, aku beringsut kesudut ruangan.
Dikubangan denyar merah yang membasahi lantai dan kelabu langit malam, disanalah kakakku.
Matanya nyalang, antara ketakutan dan rasa sakit.
Mulutnya komat-kamit, mengatup dan terbuka.
Menggelepar dilantai seperti ikan naik daratan.
Oscar menggeliut, meraung dan merongrong tak jelas sembari memegangi perutnya yang basah berdarah. Kakinya menendang lantai, seperti ada yang menahannya. Pisau buah itu ada tak jauh darinya, berlumur merah terang.
Ia mendelik dengan mata yang nyalang. Dagunya tengadah menuju plafon. Ia menggeliut, menggelepar diantara rongrong yang serak dan lirih sumbang dari ujung tekaknya. Nafasnya cepat dan tercekat, mulutnya menyembur darah.
Aneh, tangannya menampar udara. Mencengkram hingga lengannya mengurat.
Jangan bilang…….
Saudaraku bertarung dengan Sang Izrail!
“Jri….Faaa….jjjjjrriii….” lirihnya. Matanya membelalak dan mendelik. Suaranya serak setengah raung. Ia menggeliut diantara denyarnya merah terang yang makin menggenang. Ujung buku jarinya menyentuh betisku.
“Oscar…..darahnya nggak mau berenti.” aku cuma bisa mendesah, paru-paruku terasa robek. Kugenggam tangan dan lengan Oscar kuat-kuat. Pemuda itu menggunakan sisa tenaganya untuk setengah duduk, menyandarkan tubuhnya dikedua lututku.
“maaf…yang tadi….” Oscar menyembur darah dimulutnya. “aku kalap.”
“aah…..” deru nafasku makin cepat. Jantungku hampir meledak. “Oscar jangan mati!”
“telfon ayah….Jri!”
“tapi, Oscar jangan mati!” ucapanku merajuk seperti anak TK. Otakku kosong, bahkan tak mampu mencerna perintahnya.
“bukan salahmu.” Tangan Oscar membelai sudut bibirku. “maaf.”
“aku juga minta maaf, Oscar!” kedua lenganku menangkap tubuh Oscar dan mendekapnya erat-erat.
“bukan salahmu….” Ujarnya makin lirih.
“Oscar…..Oscar! Darahnya…..”
“bukan salahmu…..” kali ini aku bisa lihat senyum dibibirnya yang tipis.
“iya, Os! Aku juga minta maaf.” Kucium dua belah pipinya yang bersimba darah.
Matanya mulai setengah menutup. Masih kurasakan nafasnya meniup wajahku. Bulir-bulir besar cairan kristal meleleh dari mataku dan menetes kewajahnya. Aku terlalu panik untuk menolongnya. Aku memang tidak akrab dengannya, namun aku ingin dia tetap hidup!
Tiba-tiba pintu berderit terbuka. Ayahku masih melepas jaketnya dan melihat serakan denyar terangnya merah flamboyant itu dengan wajah terkejut. Beliau menjatuhkan tasnya dan merebut Oscar yang sudah setengah sadar dari pelukanku.
“Ya ampun, kenapa bisa, naaak?!” lirih ayahku bingung. ia menatapku putus asa, dan melihat aku masih menangis tanpa sedu sedan.
“ayah telpon rumah sakit!” dengan tangan gemetar ayahku mengambil ponselnya dan menelpon rumah sakit terdekat. Ayahku memanggil salah satu tetangga dan menggotong Oscar menuju rumah sakit.
Mereka melupakan aku.
Aku ditinggal bersama hening. Diperangkap dalam nestapa yang tak sengaja. Tubuhku yang bersidekap ambruk, membaur dengan genangan nyalang dengan tatapan kosong menghadap bulan yang terselubung gelapnya langit yang makin luruh. Mataku setengah membuka dan menutup, buku jariku yang bergetar mencakari lantai yang berbaur antara dingin, hangat dan amis. Kubiarkan bajuku basah diserap darah saudaraku yang membanjir.
Aku menghadapkan saudaraku kepada ajal.
Aku yang memaksanya berkelahi dengan rasa sakit yang tak terperi.
Aku……
Aku membuatnya bersekukuh dengan maut!
Luthfi dengan tenang membiarkan aku menandaskan semua getar dalam lidahku. Hujan sampai sudah berhenti, dan para pelayat mulai perlahan-lahan mengurang. Aku tidak yakin dia benar-benar mendengarkan aku. Tetapi aku tidak peduli. Aku merasa bahuku lebih ringan. Nafasku lebih dalam dan gemetarku perlahan berhenti.
“bukan salahmu.” Ujarnya sumbang.
“klise.” Ujarku sumbang, suaraku pincang. Lagi-lagi tak sesuai simfoni situasi.
“tadi kamu mau ngomong apa ke Oscar tadi?”
Hening sekelebat. Dengung bising tak lagi membebani. Kami disekat diantara diam berduka.
“aku sayang sama dia.” Ujarku, untuk yang kesekian kalinya terasa begitu getir.
“dia kan saudaramu, wajar, kan?” Luthfi membalasnya seperti operator telepon.
“percuma. Dia udah mati.”
“sempat.”
“nggak.”
“sempatkan!” dia mulai membentak. “cepat!”
Aku tergugu. Seluruh sendiku bergerak tanpa komando. Kumasuki ruang tengah, dimana tidak ada siapapun disana kecuali ayahku yang menunggui jasadnya. Aku bersimpuh disamping tikar bambu yang mengalasi tempatnya berbaring. Ayahku tidak acuh, ia mungkin masih ingin berkabung. Kusingkap kain batik yang menutupi wajahnya dan kulihat lagi ekspresi itu,
Wajah yang kubenci, tetapi yang begitu aku cintai.
Belah tanganku merengkuh wajahnya. Jemariku menyisir rambutnya yang merah dan kasar. Tidak ada rasa takut yang tersirat sedikitpun, meski yang sedang kusentuh adalah raga tanpa nyawa. Kudekatkan mukaku dan untuk yang terakhir kalinya kukecup pipinya yang tembam, yang sedikit terasa keras dibibirku.
“aku sayang kamu, Oscar. Dadah!” lirihku dengan nada yang begitu lembut.
Sekian menit lagi, kutatap wajahnya dalam-dalam dan kututup lagi wajahnya dengan kain batik yang tadi.
Saudaraku, Kalah dalam damai didalam hantaran Sang Izrail.
Karya Cerpen : Fajrina Rahmani Rijar
Sekolah : SMPN 157 JAKARTA