Mengubah Warna Pelangi
Pagi ini, matahari bersinar dengan cerah. Namun sangat bertolak belakang dengan suasana hatiku sekarang. Dengan mata sayu-sayu ngantuk ,hati yang gundah , fikiran yang kacau kulangkahkan kakiku menentang sejuta masalah yang akan ku hadapi di sekolah. Hanya sedikit senyum sungging ku perlihatkan kepada nenekku untuk pamit ke sekolah. Matahari yang bersinar cerahpun , tak bisa membuat raut wajahku tampak menjadi lebih segar.
Di ruang kelas yang sangat bersih dan teratur , tampak dua orang teman yang sedang berdiskusi tentang pelajaran Kimia (Hidrokarbon). Tiba-tiba bendahara kelas masuk ,dan langsung menemuiku. Aku tahu kalau aku ada masalah keuangan dengan bendahara kelas. Tapi, aku berusaha unutuk tenang… tenang… dan tenang.
“Aisyah, kamu bawa kan uang dua ratus ribu?” tanya bendahara kelas dengan nada sedikit marah. Ya, pantas saja dia marah. Aku janji mau bayar seminggu yang lalu, tapi belum juga aku bayar. Aku selalu mengulur-ngulur waktu untuk membayar.
Dengan wajah berusaha untuk meyakinkan si bendahara mengangguk pasti. Tapi, bendahara tetap saja tidak yakin.
“Benarkan? Kamu bawa sekarang ? nggak bohongkan ?” bendahara bertanya lagi, karena dia benar-benar masih ragu, dengan kepastianku .
Dengan nada sedikit sombong dan sedikit bumbu jutek, aku jawab, “Iya… iya… aku bawa kok.”
Bendahara yang lembut dan polos itu, terlihat dimataku berubah menjadi monster yang siap membunuhku kapan saja.
“Kamu itu janganlah dirunda-tunda juga bayarnya. Kamu tahu kan? Kalau uang dua ratus ribu itu uang kas kelas kita? Sementara uang kas itu sekarang gak ada lagi ditangan aku! Kalau ada keperluan lokal, mau dibeli pake apa lagi Aisyah? Atau kamu mau, aku bilang langsung sama Alrido ketua kelas kita? Kamu tidak merasakan bagaimana rasanya menanggung tanggung jawab sebagai bendahara! Anndai kamu tahu aku tu sangat takut , kalau kamu belum juga bayar. Sementara kamu santa-santai saja. Uang dua ratus ribu itu tidak sedikit, buat kita sebagai pelajar Aisyah?” bentak bendahara itu menusuk hatiku.
“Iya… aku tahu! Aku akan bayar secepatnya Geno,” jawabku sama bendahara kelas, dengan nada meyakinkan sambil menahan tangis.
Andai , dia tahu seberapa beratnya fikiranku sekarang, seberapa kacaunya fikiranku dan alangkah gunddahnya hatiku memikirkan semua ini. Rasanya, setelah Jino si bendahara itu pergi… aku ingin menangis sejadi-jadinya, untuk meluapkan semua perasaanku. Tapi, aku tahu aku tidak boleh jadi anak yang cengeng , aku harus kuat. Aku yakin semua ini pasti ada jalan keluarnya.
Sambil duduk kelas yang bersih dan rapi itu, aku tatap pintu masuk kelas dengan perasaan yang sangat sedih dan hatiku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba lewat kakak kelas XII.Acc yang hendak keruangan kelasnya, tepatnya di lantai dua, di atas kelasku X.4
Sontak sejenak hati ini tertawa manis, rasanya mendapat angin dari syurga
Pagi ini, matahari bersinar dengan cerah. Namun sangat bertolak belakang dengan suasana hatiku sekarang. Dengan mata sayu-sayu ngantuk ,hati yang gundah , fikiran yang kacau kulangkahkan kakiku menentang sejuta masalah yang akan ku hadapi di sekolah. Hanya sedikit senyum sungging ku perlihatkan kepada nenekku untuk pamit ke sekolah. Matahari yang bersinar cerahpun , tak bisa membuat raut wajahku tampak menjadi lebih segar.
Di ruang kelas yang sangat bersih dan teratur , tampak dua orang teman yang sedang berdiskusi tentang pelajaran Kimia (Hidrokarbon). Tiba-tiba bendahara kelas masuk ,dan langsung menemuiku. Aku tahu kalau aku ada masalah keuangan dengan bendahara kelas. Tapi, aku berusaha unutuk tenang… tenang… dan tenang.
“Aisyah, kamu bawa kan uang dua ratus ribu?” tanya bendahara kelas dengan nada sedikit marah. Ya, pantas saja dia marah. Aku janji mau bayar seminggu yang lalu, tapi belum juga aku bayar. Aku selalu mengulur-ngulur waktu untuk membayar.
Dengan wajah berusaha untuk meyakinkan si bendahara mengangguk pasti. Tapi, bendahara tetap saja tidak yakin.
“Benarkan? Kamu bawa sekarang ? nggak bohongkan ?” bendahara bertanya lagi, karena dia benar-benar masih ragu, dengan kepastianku .
Dengan nada sedikit sombong dan sedikit bumbu jutek, aku jawab, “Iya… iya… aku bawa kok.”
Bendahara yang lembut dan polos itu, terlihat dimataku berubah menjadi monster yang siap membunuhku kapan saja.
“kamu itu janganlah dirunda-tunda juga bayarnya. Kamu tahu kan? Kalau uang dua ratus ribu itu uang kas kelas kita? Sementara uang kas itu sekarang gak ada lagi ditangan aku! Kalau ada keperluan lokal, mau dibeli pake apa lagi Aisyah? Atau kamu mau, aku bilang langsung sama Alrido ketua kelas kita? Kamu tidak merasakan bagaimana rasanya menanggung tanggung jawab sebagai bendahara! Anndai kamu tahu aku tu sangat takut , kalau kamu belum juga bayar. Sementara kamu santa-santai saja. Uang dua ratus ribu itu tidak sedikit, buat kita sebagai pelajar Aisyah?” bentak bendahara itu menusuk hatiku.
“Iya… aku tahu! Aku akan bayar secepatnya Geno,” jawabku sama bendahara kelas, dengan nada meyakinkan sambil menahan tangis.
Andai , dia tahu seberapa beratnya fikiranku sekarang, seberapa kacaunya fikiranku dan alangkah gunddahnya hatiku memikirkan semua ini. Rasanya, setelah Geno si bendahara itu pergi… aku ingin menangis sejadi-jadinya, untuk meluapkan semua perasaanku. Tapi, aku tahu aku tidak boleh jadi anak yang cengeng , aku harus kuat. Aku yakin semua ini pasti ada jalan keluarnya.
Sambil duduk kelas yang bersih dan rapi itu, aku tatap pintu masuk kelas dengan perasaan yang sangat sedih dan hatiku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba lewat kakak kelas XII.Acc yang hendak keruangan kelasnya, tepatnya di lantai dua, di atas kelasku X.4
Sontak sejenak hati ini tertawa manis, rasanya mendapat angin dari syurga yang mampu menyapu air mata bathinku. Ya… Kak Wifa itulah yang bisa membuatku sedikit tersenyum. Entah perasaan apa ini namanya,yang jelas aku senang dan berbunga-bunga kalau aku melihat Kak Wifa. Walaupun dia sama sekali tidak mengenalku.
***
Pelajaran pertamapun ku jalani dengan berusaha berfikir keras dari tadi malam sampai detik ini. Mencari jalan keluar untuk membayar hutang dua ratus ribu itu secepatnya dengan tetap mendengarkan pelajaran Geografi dari Ibu Wesrida. Ya… walaupun yang aku fikirkan sebenar-benarnya adalah masalah-masalahku.
Jam pelajaran pertama selesai dengan Ibu Wearida, tapi tak berarti sudah dapat ide untuk menyelesaikan masalah-masalhku.
Masuk jam ke tiga dan ke empat. Kimia dengan Bapak Februadi. Belajar dengan Bapak ini memang sangat disiplin, tidak boleh melamun apa lagi melengah sedikitpun. Dan yang paling pasti lagi aku sadar juga belajar Kimia itu lumayan susah dengan soal-soal yang rumit ditambah dengan bubuk bahasa Inggrisnya. Karena kebetulan, aku sekolah di Rinrisa Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) tepatnya di R-SMA-BI Negeri 1 Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat.
Karena itu aku harus konsentrasi pada pelajaran dan meninggalkan kesibukan otakku dari masalah uang dua ratus ribu itu. Aku bertekad pokoknya, aku harus ngerti Alkana,Alkena dan Alkuna itu.
Alhamdulillah kali ini aku mengerti dengan pelajaran A3 (Alkana,Alkena dan Alkuna). Spontan aku juga ikut rebutan angkat telunjuk untuk menyelesaikan sample-sample problem yang disediakan Bapak di papan tulis. Namun, naas sahabatku Tisha, ternyata tidak mengerti. Mungkin karena terlalu semangat belajar A3 dan sangat mengerti, aku nggak dengar kalau Tisha minta tunjukin caranya.
Tiba-tiba dia marah-marah sendiri. Melampiaskan kemarahannya dengan merobek-robek kertas.melihat Tisha seperti itu aku langsung bertanya “Kamu marah sama aku Tisha?” dia Cuma menggubris dengan berat hati, “Nggak!!!”
Karena aku sadar kalu Tisha lagi marah sama aku, aku diamkan saja dulu biar suasananya membaik mungkin Tisha lagi emosi. Setelah aku diamin Tisha sebentar, aku kembali melihat Tisha karena bagaimanapun aku tetap merasa bersalah sama sahabatku. Dengan perasaan sangat sedih aku langsung minta maaf sama Tisha,
“Tisha maafin aku, kalau aku salah sama kamu,” pintku sambil mengelus-elus kepalanya yang ditutupi dengan jilbab putih yang rapi.
“Aku benci sama kamu!!!!” jawaban Tisha pedih menusuk Qolbu-ku.
Ternyata, tindakanku memang salah besar mendiami Tisha yang lagi emosi, seharusnya aku menenangkan Tisha dan berusaha untuk minta maaf karena aku tahu biasanya kalau Tisha lagi marah dia sangat butuh perhatian dan pengertian yang besar.
Tiba-tiba Bapak berkumis tebal dan berkepala botak itu, melihat kearah meja aku dan Tisha.
“Yang disebelahnya Aisyah namanya siapa?”
“Tisha,Pak” jawabku penuh kekhawatiran
“Kenapa dia?” tanya Bapak itu lagi sambil mengelus-elus kumisnya yang hitam dan tebal itu sembari langsung melangkahkan kakinya menuju meja aku dan Tisha. Seketika itu juga dengan cepat dengan suara serak-serak basah, Tisha menangkis “Cuma pusing sakit kepala biasa aja Pak.”
“Bawa cepat ke UKS Aisyah,” perintah Bapak kepadaku dengan melihatkan wajah kecemasannya.
Dengan sigap aku langsung membopoh Tisha menuju menuju UKS. Ketika perjalanan menuju UKS, Tisha berusaha untuk menghindari bopohan tanganku yang melekat di pundaknya, namun aku tetap berusa bertahan dan tidak menghiraukan reaksi Tisha.
Sampai di dalam UKS,Tisha langsung menangis tersedu-sedu. Aku semakin merasa bersalah. Sebagai seorang sahabat, telah menyakiti hati dan membuat sahabatnya sendiri menangis.
“Tisha.. maaf ya kalau aku ada salah sama kamu,” sesalku mengawali pembicaraan dan menghadap ke Tisha.
“Aku tahu, aku ini bodoh. Kamu itu pintar!!! Aku minta ajarin caranya saja sama kamu, kamu nggak mau!!! Asal kamu tahu baru kali ini aku menangis gara-gara sahabatku sendiri!”
“Ya, aku tahu aku sadar kalau aku salah. Maaf Tisha, tadi aku nggak dengar. Mungkin gara-gara aku terlalu serius belajarnya, jadi aku nggak dengar kalau kamu ngomong mau minta ajarin caranya.”
“Nggak ada yang bisa ngertiin aku Aisyah! Nggak ada! Asal kamu tahu, sebenarnya hatiku ini lagi nangis. Aku lagi banyak masalah, tapi aku berusaha untuk tertawa. Kamu sebagai sahabat aku sendiri tidak tahu dan nggak menyadarinya! Kamu tahukan? Papa aku lagi terbaring di rumah sakit dan sekarang dia juga mau operasi. Bayanginlah sama kamu, aku sebagai anaknya sendiri, nggak ada disaat
Papa aku lagi berjuang untuk berhasil dari proses operasinya. Kamu sebagai sahabat seharusnya ngerti??? Aku pengen bikin Papa aku bangga Aisyah. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Aku pengen semua Ulangan-Ulangan Harian aku nggak ada yang remedi. Jadi Papa aku bisa bangga punya anak kayak aku. Dan aku juga pengen buktiin walaupun aku anak manja , tapi aku tetap bisa banggain Orang Tua aku.”
“Bagaimana aku bisa ngerti perasaan kamu, kalau kamu nggak pernah cerita kegundahan kamu itu Tisha? Kamu pura-pura tegar, tapi sebenarnya kamu lagi sedih dan banyak masalah? Tisha asal kamu tahu, aku sudah anggap kamu lebih dari sahabat.
“Asal kamu tahu Tisha, aku sudah anggap kamu lebih dari sahabat aku sendiri. Kamu tu sudah ibarat Kakak bagi aku. Yang siap menghapus air mata aku ketika aku sedang menangis, yang siap menjadi duri ketika aku disentuh, yang siap mendengarkan omongan aku yang ngalor ngidul, yang selalu ada ketika aku sedang sepi, yang penting kamu ibarat Peri yang selalu bisa menjelma seperti apa yang aku inginkan.” Aku berhenti sejenak sambil mengingat masa aku yang dulu kelam tanpa kehadiran seorang sahabat.
“Sudah 15 tahun umurku, baru kali ini merasakan betapa pentingnya seorang sahabat bagi aku. Kamu tahu sendiri kan? Aku paling anti bicara persoalaan yang namanya cowok, tapi kalau sama kamu aku ceplas-ceplos aja cerita Tisha.” Tuturku melanjutkan curhatanku sembari tersedu-sedu.
“Aku tidak tahu mau cerita sama siapa lagi, kalau kamu pergi dari kehidupan aku Tisha. Aku butuh kamu!!” Ucapku tegas dan mengutarakan semua unek-unekku.
Suasana berubah menjadi hening ibarat Negeri tak berpenghuni. Tisha tak berkata apa-apa dan aku pun jga tak bisa bicara apa lagi, yang jelas suasana saat itu berubah seperti suasana siswa yang di Muhasabah ketika kami MOS masuk SMA ini dulu. Saling mengintropeksi diri dan merenugkan ucapan-ucapan yang begitu keluar ibarat air yang mengalir mengamuk deras.
Mulai dari saat itu, masalah ini mengajarkan aku menghargai bahwa sahabat itu sangat penting dan mengajarkanku menjalani hidup ini butuh kedewasaan. Dewasa dalam berfikir,dewasa dalam bertindak,dewasa dalam menghadapi masalah karena umur tidak menentukan seberapa dewasa seseorang itu, tapi sikap dan cara berfikir dalam meghadapi hidup dan kehidupan inilah yang bisa menilai seberapa dewasa seseorang itu.
****
By Nur Aisyah Putri
SMA N 1 Payakumbuh