Mungkinkah Ini Saat Terakhir ?
Tililit …. Tililit … Tililit … Tililit .. *bunyi suara telpon (ga enak bgt sii bunyinya :D haha#brugg*jatoh)
Dengan malas Sivia menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
“haloo. .. hoahmmm”, sahut Sivia sambil nguap dengan perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.
“Ya ampun sivia! Lo baru bangun ya?” tanya Ify.
“Iyaaa, ada apa sih fy?” sahut Sivia dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lo kesiangan? Emang semalam lo begadang ya?” tanya Ify lagi.
“Iyee nyelesain tugas yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Sivia perlahan.
“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Ify.
“Kabar apaan sih fy?” tanya Sivia dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Hari ini Gabriel masuk sekolah via!” kata Ify dengan tegas. Sivia yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
“Serius fy?” tanya Sivia karena masih ragu dengan Ify.
“Gue gak becanda! Makanya buru lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Sivia dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Dalam perjalanan Sivia terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang sedari tadi mengamati Sivia merasa heran. Sivia memang sudah sangat merindukan sang pacar Gabriel, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Gabriel tak masuk sekolah. Gabriel juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Sivia mendatangi rumah Gabriel, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Gabriel. Sahabat dan teman dekat Gabriel sudah ditanyai , tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Gabriel, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua, Sivia seakan tak terima dengan kehilangan Gabriel yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah. Mobil yang dikendarai pak sopir berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Sivia bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Sivia langsung menghampiri Ify.
“fy! Lu serius kan?” tanya Sivia meminta penjelasan Ify.
“Iya sivia! tadi Gabriel datang kemari dan nyariin lu,” jawab Ify.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”
“Ya gue bilang aja lu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Ify.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Sivia lagi dijawab dengan anggukan oleh Ify.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia fy?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Ify. Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Sivia nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Gabriel. Dia merasa bahwa Gabriel yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka. Sivia menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Gabriel belum datang. Kemudian pada jam istirahat Sivia memutuskan tidak ikut Ify ke kantin. Karena Sivia berfikir Gabriel akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Sivia salah menduga.
“Gabriel belum kemari via?” tanya Ify yang sudah kambali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum fy.,” menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?” Ify merasa heran diikuti gelengan kepala Sivia yang menandakan juga heran.
”Tapi lu tenang aja sivia, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Ify dengan tegas.
Dan ternyata dugaan Ify benar. Gabriel sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Sivia berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Gabriel juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Sivia. Namun kerinduannya yang besar kepada Sivia mengalahkan ketidaksiapannya. Ify tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Ify memutuskan pulang duluan.
“Hai via,” sapa Gabriel dengan lembut.
“Hai…,” jawab Sivia singkat.
“Apa kabar?” tanya Gabriel.
“Baik, kamu?” Sivia menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Gabriel
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Gabriel. Sivia mengangguk.
Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Gabriel. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Gabriel membawa Sivia ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Aku mau minta maaf sama kamu via, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Gabriel berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Sivia merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit via!” jawab Gabriel dengan sangat lambat.
“Sakit?” Sivia merasa jawaban Gabriel bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu sivia, tapi ini nggak segampang itu.”
“Maksud kamu?” Sivia semakin terlihat bingung dengan perkataan Gabriel yang nggak jelas. Gabriel terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Sivia.
“Gabriel? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Sivia mengguncang badan Gabriel, memaksa Gabriel menjelaskan semuanya. Sivia merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“Aku…aku…aku menderita kanker stadium akhir via,” jelas Gabriel dengan perlahan.
“APA?” Sivia terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Gabriel akan seserius itu.
“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena mama membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis,” Gabriel melanjutkan penjelasannya.
”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
“Ya ampun iel….kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Sivia dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu via” Gabriel menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil. Melihat kesedihan pacarnya itu hati Sivia hancur. Sivia meraih tangan Gabriel dan memegangnya erat-erat.
“Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Sivia sambil menatap Gabriel.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah , aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Gabriel dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Sivia. Gabriel terharu dengan perkataan Sivia. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi.
“Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.” Gabriel langsung memeluk Sivia dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Sivia tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Gabriel, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Gabriel ke Singapura. MereKa benar-benar menghabiskan waktu bersama. Sivia hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Gabriel. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Gabriel rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Sivia, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka menghadapi masa tua bersama.
By Nabila El Safira