Akhir Usiaku
Sore itu, aku pulang dari lapangan ‘Maguo Harjo', lapangan yang setiap sore menjadi tempat yang asyik untuk bermain bola dengan temen-temen ku. Selasai bermain bola, aku langsung pulang kerumah. Aku terhenyak sejenak saat melihat kerumunan orang yang sangat banyak di depan rumah ku, dalam hati aku merasa sangat cemas dan……………, ah mungkin perasaaku saja. Sambil berjalan menuju rumah aku berusaha menepis pikiran burukku. Tetapi perasaan was-was itupun menghampiri ku lagi, terlebih saat melihat bendera kuning didepan rumah ku.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara memanggilku “Fazi….Fazi..!” panggil salah seorang tetangga ku. Sungguh aku tak percaya dengan apa yang di katakan oleh tetanggaku yang tak lain bernama Aliyah. “Cepat lah kau hubungi saudara-saudaramu, katakan kepada mereka bahwa ibu mu telah tiada!”. sungguh sebuah kalimat yang sangat pahit ku dengar, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, setelah mendengar nya seketika itu aku pun terjatuh.
Hampir 12 jam kemudian, tiba-tiba aku berada di atas ranjang tempat tidurku, “Alhamdulillah…………….., ternyata semua nya hanya mimpi !” ucapku seketika bangun dari ranjang ku. “Tidak Fazi!, semua itu bukan mimpi, ibu mu sudah meninggal dan sekarang beliau telah di makamkan”, Ujar Mila (salah satu spupuku ku). “Kau bohong ………., ibuku belum meniggal…………..!” bentak ku sambil melempar semua benda yang ada di dekat ku. Setelah lama Mila menasehati ku, akhirnya aku pun sadar. “tapi mengapa sudah di semyamkan ?, sedangkan aku anaknya tidak mengikuti proses pemakaman?,” heran ku kepada Mila. Kemudian Mila menjawab dengan penuh hati-hati “e……………, tadinya aku dan para warga berusaha menunda pemakaman , tetapi kamu pingsan begitu lama, dan kami khawatir dengan jasad ibumu yang sudah mulai mengeluarkan bau tak sedap”.
Sungguh aku adalah anak yang malang, dahulunya kami adalah keluarga yang sangat makmur dan bahagia. Ayah ku adalah seorang manager di salah satu perusahaan ternama di Jogja. Semenjak usahanya bangkrut, ayahku terserang penyakit Paru-paru dan penyakit Jantung, setelah 10 hari dirawat di Rumah Sakit, akhirnya status ku berubah menjadi anak Yatim. Sekarang hanya tersisa Aku, Kakak, dan ibuku.
Tapi sekarang, penderitaanku semakin lengkap, ibuku meninggalkanku di usia 15 tahun ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMA , seketika itu pula kakak ku pergi dari rumah karena malu dengan nasib yang menimpa keluarga kami.
“Entah apa yang Allah rencanakan kepada ku?, sepertinya Allah senang melihat aku sengsara” ucapku sambil meratapi nasib.
Hari ini hari pertama ku tanpa keluarga ku, hari ini aku resmi hidup sebatang kara. Beruntung setelah 1 minggu kejadian meninggalnya ibuku, ada seorang pengusaha yang tergetar hatinya untuk menanggung seluruh biaya hidup, serta sekolah ku. Beliau bernama Bapak Hisyam, Beliau adalah rekan bisnis ayah. Tapi itupun tak berlangsung lama, hanya sampai aku kelas 3 SMA beliau meninggal dunia karena kecelakaan pesawat sewaktu menunaikan ibadah Haji sekeluarga. Akhirnya pun aku harus mandiri mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan pendidikan ku.
Kemudian aku putuskan untuk ikut bekerja dengan tetangga ku, kami mengantarkan Parcel keluar kota, dan disana aku terpikir untuk bekerja sampingan yaitu sebagai Penyemir Sepatu. Di hari pertamaku bekerja sebagai penyemir sepatu, tiba-tiba di sebrang jalan terlihat sebuat dompet yang ku lihat sangat tebal isinya. Karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan ku, akhirnya aku putuskan untuk mengambilnya. Kemudian akupun bergegas pulang untuk mengaman kan dompet tersebut agar tidak ketahuan pemiliknya.
Tetapi di tengah perjalanan, dua orang preman berbadan kekar menghadang ku, “whoi… anak tengil, lhoe punya uang berapa………………?”, bentak preman tersebut. Tiba-tiba aku teringat dengan pesan ibuku ; “janganlah kau berbohong, walaupun kamu salah!”. padahal aku telah berjanji tak akan bohong kepada siapapun, tapi kalau aku jujur harta ku akan di rampas. “e………….., a…aku menemukan sebuah dompet yang berisi uang Rp. 3.400.000,- dan…n di saku belakang ku terdapat uang Rp. 3.800,-”, jawab ku memilih jujur. Tiba-tiba, salah seorang preman itu terdiam sejenak, heran dengan semua ucapanku. “kenapa kau berkata jujur?” kata preman tersebut . setelah mengetahui sebab kejujuran ku karena pesan orang tua, preman itu berkata dalam hati “seperti pesan ibu yang pernah di ucapkan kepadaku, apakh dia…….?”, kemudian dia menangis kecil. “Apakah namamu Fazi?” Tanya preman tersebut pada ku, “i.i.i…..ya, itu benar !” jawab ku dengan ketakutan. “Orang tuamu bernama Zafir dan Fiza ?” Tanya nya kembali, “Kok kenal ?”, sahutku sambil ketakutan. Tiba-tiba preman tersebut memeluk ku, “Maafkan kakak mu ini, aku adalah kakak yang tak bertanggung jawab, yang kabur sewaktu ibu meninggal” ucapnya sambil menangis, “Kamu ini Kak Deni?” tanyaku. “ya, itu benar, aku Deni, kakak yang tak bertanggung jawab…..” jawabnya. Begitu rindunya dia kepda ku, dia memelukku dengan erat, seakan tak ingin lepas dari ku lagi, dia menyesal telah meninggalkan ku, “maaf kan Kakak, maaf kan Kakak,………………..” berulang kali ucapan itu terlontar dari mulut nya. “Antarkan kakak ke rumah …………” pinta nya pada ku, dengan hati yang berbungah-bungah aku pun pulang ke rumah ber sama Kak Deni.
Pukul 07.30 Wib, aku berangkat ke sekolah, hari ini aku menghadapi Ujian Nasional, Alhamdulillah semua berjalan sesuai harapan, semua soal dapat ku kerjakan dengan tenang, walau pun tidak semua hasil pekerjaanku, mungkin satu atau sampai sembilan soal saja aku dapat contekan dari teman.
Dua minggu setelah ujian nasional, aku di panggil oleh Satpam Sekolah ku, sebut saja nama nya Pak Rois, Dia menyuruhku untuk menghadap Bandahara TU. Disana aku mendapatkan surat keterangan untuk segera melunasi SPP selama 3 bulan, serta cicilan uang gedung, yang keseluruhannya berjumlah Rp. 512.000,-. Sungguh angka yang terlalu tinggi bagi ku.
Sesampainya di rumah, aku berfikir bagaimana cara untuk melunasi seluruh tagihan tersebut. Sebenarnya aku tidak ingin kakak ku mengetahui kabar ini, tapi jika tidak segera di lunasi aku tidak akan bisa mengambil Hasil Keluluan ku, dengan terpaksa aku menunjukkan surat tersebut kepada kakak ku. Sungguh aku tidak tega melihat kecemasan yang ditampakkan raut wajah nya. “besok kakak coba cari uang” ujar nya untuk membuat ku lebih tenang. Jam dinding ku pun menunjukan pukul 23.00 Wib, dan kami pun harus bergegas tidur.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakakku sudah keluar rumah untuk mencari uang guna membayar tagihan sekolahku. “aku keluar dulu, tidak lama kok…….!” Pamitnya pada ku.
Tapi kenyataan nya, 12 hari berlalu belum ada kabar dari nya “entah apa yang sedang di kerjakan nya, aku khawatir bila terjadi sesuatu padanya” ujar ku dalam hati sambil menatap indah nya sang awan yang minghiasi biru nya langit, yang seakan-akan menggambarkan kedua wajah orang tua ku. Sedih rasanya mengingat masa laluku. Semenjak aku di tinggal ke dua orang tua ku aku sering melamun, menyanyi, berteriak-teriak tak karuan. Bahkan ada salah seorang tetanggaku yang menyebutku “sudah tak waras”.
Kecemasan semakin memuncak saat hari pengumuman kelulusan ku tiba, sedangkan kakak ku pun belum pulang. Tiba-tiba terdengar suara salam dan ketokan pintu dari arah depan rumah, “tho-thok-thok………., Assalamualaikum……!”. Dan aku pun bergegas untuk membukakan pintu untuk sang tamu, sungguh tak terduga, rasa senang , marah , sedih bercampur jadi satu. “Wa’alaikumsalam warahmatullah, kenapa baru pulang Kak….?” Tanyaku kepada sang tamu yang tidak lain adalah kak Deny. “maaf kan kakak membuat mu cemas, nanti kujelasi. Sekarang lebih baik kita ke sekolahmu untuk mengambil hasil kelulusanmu” jawabnya. “Kakak sudah ada uang?”, Tanya ku, “Sudah…, cepat ganti pakaian mu, kita pergi ke sekolah, cepat lah Fazi!” perintah nya padaku. “maaf kak, aku nggak bisa ikut, soalnya yang boleh hadir hanya wali murid” sahutku. Kemudian kak Deni pun bergegas pergi ke Sekolahku.
Kemudian aku pun pergi ke kamar mandi untuk mengambil air Wudhu untuk sholat Dhuha, serta membaca (Dzikir) bacaan yang pernah di berikan oleh Ustadz Firdaus. Ia adalah Guru Ngajiku. Sudah menjadi kebiasaan bagiku setiap akan menerima hasil kelulusan, bahkan wajib.
Setelah lama menunggu akhirnya tiba waktu nya yang dinanti. “Icmal Fazi” ucap salah seorang guru yang bertugas membagikan hasil kelulusan, dan kak Deni pun menghampirinya untuk mengambil amplop yang berisikan surat hasil kelulusan. Dengan penuh harapan dan hati yang was-was kak Deni membukanya, dan di dalamnya terdapat tulisan “dengan ini dinyatakan siswa yang bernama ICMAL FAZI, Siswa SMA 12 Jogja, dinyatakan LULUS”. Sungguh secarik kertas yang sangat bermakna baginya. Dengan hati yang berbungah-bungah, kak Deni pun bergegas pulang untuk mengabarkan berita gembira itu padaku.
Sesampai nya di rumah, dia pun mengucapkan salam dengan nada yang sangat lantang, yang menunjukan betapa bahagianya kak Deni waktu itu. Berulang-ulang kali kak Deni mengucapkan salam dan mengetok pintu, karena terlalu lama dia menunggu jawaban salam, dia pun memutuskan untuk langsung masuk kedalam rumah. Dilihatnya sesosok adiknya yang tengah bersandar di samping almari sambil duduk seperti orang sholat pada Tahiat terakhir, serta memegang tasbih hijaunya. Diamatinya begitu lama tapi adiknya tidak bergerak sama sekali. “lho, gimana sich, ko’ malah tiduran?”, ucapnya sambil mendekatiku. Ketika dia memegang, dan berusaha membangunkanku, aku terjatuh dan kepala ku terpental mengenai lantai. “Fazi….., Fazi…………” teriaknya keras, dan dia akhirnya pun sadar kalau adiknya (Fazi), telah tiada, aku telah mati.
Karya Ikmal Firdaus (Fazi)
Kelas XII.2 (Yasimasu)