Bencana di Negeri Dongeng
Oleh : Kyai Mbethik
Sudah lima hari ini sang Denawa uring-uringan tak tentu juntrungannya. Sebagai raja negeri dongeng, dia benar-benar pusing nggak ketulungan. Bayangkan baru beberapa tahun menjabat sudah dibebani dengan berbagai masalah. Dari yang masalah korupsi warisan pendahulunya, masalah bayar utang negara yang entah berapa ratus tahun lagi baru bisa dibayar, masalah demo-demo menolak kebijaksanaan, keputusan dan kemauannnya, masalah teroris yang masih nunggu kesempatan buat ngaco lagi, penyakit-penyakit bermunculan, baik yang lama maupun yang baru dan yang paling bikin pusing, stress dan rada gila Denawa, adalah bencana dimana-mana di belahan negeri dongeng tempat dia berkuasa.
Hal tersebut harus dibicarakan dan dibahas bersama wakil raja (di negeri dongeng raja ada wakilnya), penasihat, menteri-menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, ketua rw bahkan sampai seluruh ketua rt di negeri dongeng dikumpulkan di istananya yang hanya berukuran 15 M X 15 M persegi, tapi tingkat 25 kebawah. Kebawah? Ya kebawah. Karena sang Denawa beralasan agar istananya tidak terkesan megah, mahal dan luas. Maka atas saran dari penasehatnya, Prof. Togog, yang ahli masalah tutup - menutupi kesalahan, kecurangan dan segala tipu daya, agar sang Denawa membuat istananya 25 lantai tapi kebawah (dalam tanah). Maksudnya biar rakyat negeri dongeng terkesan dengan sifat merendah sang raja Denawa. Biar tidak terkesan kaya, mewah dan memboroskan uang Negara (uang rakyat). Sang Denawa jelas terkesan dengan usulan tersebut, dan dia percaya 150 persen kepada pendahulunya itu. Karena Sang Togog adalah lulusan Universitas Dekat London (UDEL), universitas terkenal di negeri ratu Elizabeth, jurusan fakultas teknik tipulogi.
Kembali keurusan pusingnya sang raja Denawa. Dalam orasinya sang Denawa mengatakan, “terima kasih atas kedatangan semua hadirin, baik yang diundang maupun yang tak diundang”, para hadirin maklum karena memang sang raja sedang bingung. Sang Denawa melanjutkan orasinya, “seperti kita ketahui bersama, bahwa negeri kita yang tercinta ini sedang dilanda bencana yang saling susul menyusul macam angkutan kota yang ngejar setoran. Maka daripada itu, kita yang notabene adalah penguasa, pengurus dan pelaksana roda pemerintahan di negeri ini, sudah seharusnya cepat mengambil tindakan-tindakan yang berguna maupun tidak berguna bagi bangsa ini.” Hadirin tetap maklum. “Pertama-tama, kecelakaan dimana-mana, dari kereta api, bis, kendaraan pribadi sampai orang berjalanpun masih bisa tabrakan. Lalu disusul dengan bencana tsunami”. Sang Denawa menghentikan orasinya sebentar untuk minum air putih yang sudah diberi ramuan anti gagap dari dukun istana. Dengan sedikit berdahak dia melanjutkan orasinya. “Sampai mana saya tadi?” “Sampai tabrakan”, kontan para hadirin berteriak. “Baik, saya lanjutkan, sekarang gunung-gunungpun ikut-ikutan ngamuk, sungai-sungai juga mau muntah keluar, dan kebakaran hutan dimana-mana. Padahal kalau kita mau jujur, kita tidak pernah menyakiti gunung, sungai, hutan dan yang lain. Kita tidak pernah mengumpat mereka, tidak pernah mencelakai mereka apalagi menyinggung perasaaan mereka. Lalu kenapa mereka bisa dendam sama kita dan bikin kekacauan dimana-mana? Kenapa? Kenapa? Seribu kali kenapa?”
Semua hadirin tetap diam, karena memang mereka nggak ngerti mesti jawab apa. Dan yang lebih parah lagi, setiap jawaban yang keluar dari mulut tidak boleh menyinggung-nyinggung keluarga, saudara, teman apalagi nama sang raja. Setelah menunggu beberapa menit belum ada yang buka suara, sang Denawa kembali melanjutkan.
“Nah, saya juga yakin kalau saudara-saudara pasti nggak bisa menjawab, karena saya yang menjadi raja di negeri dongeng ini saja tidak mengerti, apalagi saudara-saudara. Tapi untuk kali ini saya akan memaksa saudara-saudara untuk menjawabnya dan saya akan tunjuk orang-orang yang mesti menjawab.” Serentak para hadirin berdoa bersama sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, agar tidak ditunjuk oleh sang raja.
“Tuan Cingkarabala sebagai wakil saya yang pertama-tama harus bisa memberikan jawabannya,” kata sang Denawa. Sang Cingkarabala yang lagi terkantuk-kantuk kelabakan ditunjuk sang raja. Tapi demi gengsi dan jabatan, sambil tersenyum sang Cingkarabala langsung berdiri dengan sejuta keyakinan. “Baik tuan raja yang saya hormati, sayangi, kagumi dan cintai. Saya sangat terkesan dan kagum dengan orasi tuan raja tadi, sampai-sampai saya tidak ingat apa yang tadi ditanyakan tuan raja kepada saya?” Serentak hadirin tertawa dalam hati. Dalam hati? Ya, karena semua tahu, kalau menertawakan sang Cingkarabala apalagi sang Denawa, hukumnya adalah haram dan minimal bisa mendapatkan hukuman potong gaji selama 3 bulan. Sang raja Denawa dengan bangga memberitahu sang Cingkarabala apa yang ditanyakannya. Sang Denawa bangga akan kebodohan Cingkarabala karena berarti dia lebih pintar dari sang wakil. Sang Cingkarabala pun mengangguk-angguk seolah-olah paham, padahal sumpah setengah mati dia nggak ngerti mesti jawab apa.
Lalu tetap dengan gaya sok tahunya dia bicara, “tuan raja, menurut saya bencana yang terjadi di negeri kita ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, semua karena kesalahan rakyat, karena rakyat tidak lagi patuh dan menurut pada pemerintah kerajaan. Maka daripada itu, sang alampun marah karena sang alam adalah kroni dari sang raja.” Sang raja dan hadirinpun bingung nggak ngerti maksudnya. “Lalu yang kedua”, sang Cingkarabala pun melanjutkan bicaranya. “Dengan banyaknya bencana ini, kita akan tahu negeri mana saja yang bersahabat dengan kita. Karena yang mau menyumbanglah yang berarti menjadi sahabat negeri kita. Sedangkan yang tidak mau menyumbang berarti tidak peduli dengan kita, maka saya punya usul bagaimana kalau kita protes kepada negeri-negeri yang tidak menyumbang kepada negeri kita? Bagaimana?” Sontak hadirin menyatakan, “setuju, hidup tuan Cingkarabala.” Maklumlah di negeri dongeng ini, penjilat dilindungi oleh undang-undang Negara. Setelah menjawab pertanyaan sang raja Denawa, sang Cingkarabala pun dengan kepala mendongak dan penuh kepongahan duduk kembali di kursinya dengan diiringi applaus dari hadirin tanpa henti sampai sang wakil raja duduk.
Sang raja Denawa kembali ke mimbar untuk menunjuk seseorang. “Kepada tuan penasehat kerajaan, yang dipertuan agung Prof. Togog, mohon kiranya ada masukan mengenai masalah yang kita hadapi ini, terima kasih sebelumnya atau bahasa Inggrisnya thank’s before.”
Sang Togog dengan baju kebesarannya (memang benar-benar kebesaran), melangkah maju ke mimbar dengan diiringi applaus dari hadirin. Sang Togog pun memulai komentarnya, “terima kasih kepada tuan raja karena saya diberi kesempatan untuk membantu menyelesaikan masalah di negeri ini. Tapi yang paling penting dalam hal ini saya beritahukan kepada semua hadirin bahwa sesuai dengan jabatan saya yaitu penasehat kerajaan, tugas saya adalah menasehati. Jadi tidak boleh ada yang protes dan komentar setelah mendengar semua penuturan saya, apalagi menasehati, karena jangan lupa saya adalah penasehat kerajaan. Jadi saya pasti lebih pintar dari yang lainnya.”
Sang Togog melanjutkan, “semua bencana di negeri kita ini adalah merupakan bencana nasional. Jadi bukan lagi bencana daerah atau lokal, apalagi interlokal dan sljj, maka dari pada itu, untuk menyelesaikannya harus disertakan partisipasi semua rakyat di negeri dongeng ini. Harus melibatkan semua rakyat baik di pusat maupun daerah. Mereka harus mempunyai saran dan solusi untuk masalah bencana ini. Dengan cara apa mereka menyampaikan solusinya? Yaitu dengan cara SMS. Kenapa SMS? Agar kita juga mendapat untung dari biaya SMS tersebut. Tentukan biaya SMS sebesar Rk. 5000,- (Rk = Rukiah, mata uang negeri dongeng. 1 Rukiah = US$1000).”
Sang Togog mengusap dulu perutnya, dan kemudian kembali berkoar-koar, “sudah tujuh hari ini saya berkomunikasi dengan semua jin-jin yang mengurusi gunung-gunung (jin Gun-gun), lautan (jin Ub-ub, dari kata Ubur-ubur, karena memang mirip ubur-ubur) , tanah (jin Mirca, dari kata mirip cacing), langit (jin Aw-aw, dari kata awang-awang), banjir (jin Lelep, dari kata kelelep), api (jin Sundut, dari kata kesundut) dan angin (jin Awut, dari kata awut-awutan). Mereka semua mengatakan bahwa bencana-bencana ini terjadi karena rakyat tidak lagi rutin memberi sesaji kepada sang jin penunggu alam, maka sang jin diperintah oleh alam untuk membuat keonaran dan bencana.”
“Nah dari penjelasan para jin tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa rakyatlah yang bersalah dalam hal ini. Maka secepatnya para pejabat dan pengurus pemerintahan mengkoordinasikan hal ini kepada rakyat. Laksanakan sesajian dimana-mana, kalau perlu dengan sesaji yang melimpah ruah dan mewah, misalnya yang biasanya pakai kue appam diganti dengan kue donat, biasanya pakai nasi tumpeng diganti dengan hamburger, biasanya pakai pisang diganti dengan pizza, dan seterusnya, agar para jin merasa tersanjung dan dihargai,” sang Togog kembali mengusap perut buncitnya. Kemudian dia melanjutkan kembali, “bagaimana? ada yang berani melanggar seruan jin-jin tersebut? atau ada yang meragukan ucapan saya?”, para hadirin diam sejuta bahasa. Sang penasehatpun akhirnya kembali duduk ke kursinya dengan terengah-engah kecapaian.
Sang raja Denawa kembali naik ke mimbar, dan memberikan komentar atas nasehat yang tidak sehat dari sang penasehat. Sang Denawa mengatakan bahwa semua komentar dan nasehat itu harus diperhatikan oleh semua hadirin karena sang Togog adalah tokoh panutan dan teladan bagi semua manusia di negeri dongeng.
Kemudian sang raja Denawa menatap satu persatu para hadirin, dan matanya tertuju kepada satu sosok pemuda yang duduk di pojok ruangan dengan santai seolah-olah tidak peduli dengan apa yang dikatakannya tadi. Lalu sang Denawa menegur pemuda tersebut dengan nada tinggi, “hoi anak muda yang duduk di pojok, siapa kamu dan darimana asalmu serta untuk apa kamu hadir disini?” Sang pemuda dengan santai menjawab, “nama saya Mbethik, orang memanggil saya dengan sebutan kyai Mbethik, padahal saya tidak pernah merasa menjadi kyai dan yang pasti saya belum pantas untuk mendapat sebutan kyai. Mengenai asal saya, saya sendiripun tidak tahu, karena waktu dilahirkan saya belum tahu apa-apa dan belum bisa mengingat apa-apa.” Sang raja Denawa, wakil, penasehat dan para hadirin terkejut dengan jawaban anak muda tersebut. Akhir-akhir ini memang santar tersiar kabar di seantero negeri akan keberadaan seorang pemuda yang berani menentang pemerintah kerajaan dan mempunyai pengikut yang cukup banyak. Menurut berita, sang kyai Mbethik dulunya adalah seorang pemuda yang tidak baik tingkah lakunya dan sering melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Tetapi setelah menghilang dari negeri dongeng selama 5 tahun, dia kembali dengan segala kepribadian dan tingkah laku yang sangat berubah. Sang pemuda berubah menjadi manusia yang taat beribadah, sopan dan selalu berusaha untuk menolong orang lain.
Sang raja Denawa kembali bertanya kepada kyai Mbethik, “jadi kamu yang namanya kyai Mbethik? Untuk apa kamu hadir disini? Apakah kamu berani memberikan saran kepada kerajaan? Saya sebagai raja yang terhormat di negeri ini akan memberikan kesempatan kepadamu untuk maju ke mimbar dan memberikan saran, tetapi jika saranmu tidak masuk akal dan merugikan kerajaan, maka pihak kerajaan akan memberikan hukuman kepadamu. Bagaimana?”
Dengan tanpa ragu kyai Mbethik maju ke mimbar. Kemudian dia mulai bicara, “Ass. Wr. Wb, saya ucapkan terimakasih kepada tuan raja yang telah memberikan kesempatan kepada saya. Terus terang saya sangat prihatin dengan kondisi negeri ini. Bencana terjadi dimana-mana dan parahnya penanggulangannya masih sering terlambat dengan alasan masalah birokrasi.” Kuping sang raja dan para pejabat mulai agak gatal-gatal. “Orang mulai saling menyalahkan satu dengan lainnya, mulai mencari kambing hitam, kuda hitam bahkan kalau perlu satria baja hitam.” Kyai Mbethik tertawa sendiri, kemudian dia melanjutkan bicaranya, “kenapa setiap orang tidak berani menyalahkan dirinya sendiri? mengakulah salah, minimal dihadapan Allah SWT, dan yang tidak kalah penting adalah cepat-cepat bertobat kepada-Nya. Tidak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, bukan milik raja, wakil, penasehat atau siapapun apalagi saya.” Kuping sang raja dan hadirin tambah gatal dan mulai agak kepanasan. “Ingat-ingatlah bahwa makhluk Allah yang pertama-tama mengaku paling baik adalah iblis (QS Shad : 76) sedangkan binatang (al-dabbah) yang terjahat adalah manusia yang tuli, bisu dan tidak mau mengerti (QS al-Anfal : 22). Mereka mempertuhankan hawa nafsu tak ubahnya seperti hewan (al-an’am), bahkan lebih sesat (QS al-Furqan : 43-44).” Setelah diam sesaat, kyai Mbethik melanjutkan, “nah berdasarkan firman Allah SWT tersebut, manusia umumnya dan khususnya di negeri dongeng ini, seharusnya menyadari bahwa segala bencana dan musibah yang menimpa negeri dongeng ini adalah semata-mata kehendak-Nya dan itu adalah cerminan dari Asma’ Allah yaitu Ad-dharr (maha pemberi bahaya). Manusia sendiri adalah cerminan dari wakil Allah di muka bumi (Khalifah Allah fi al-ardh), maka segala tindakan dan tingkah laku kita harus mencerminkan Asma’, Shifat dan Af’al Allah SWT. Sekarang saya mau bertanya kepada para hadirin semua yang ada disini, tidak terkecuali, apakah kita sudah menjadi manusia yang diperintahkan oleh Allah SWT? atau menjadi manusia yang sudah mengikuti tauladan kita umat islam sedunia yaitu Muhammad Saw?”
Hadirin diam membisu, bahkan sang raja Denawa, sang Cingkarabala dan penasehat tidak tahu mesti berbuat dan berkata apa? Yang pasti kuping mereka sudah semakin panas dan mulai sedikit mengeluarkan asap. Kyai Mbethik tersenyum dan meneruskan bicaranya, “Jadi semua bencana di negeri dongeng ini, baik itu tsunami, gempa bumi, banjir, wabah penyakit, kelaparan, kekeringan dan lain-lainnya, adalah cambuk serta murka Allah kepada umat manusia yang melupakan-Nya dan tidak mentaati aturan-aturan yang dikehendaki-Nya.” Sang penasehat berdiri kemudian bertanya kepada sang kyai Mbethik, “berdasarkan apa yang kamu bicarakan tadi, lalu bagaimana dengan pesan dari para jin penjaga alam? bukankah mereka akan marah bila kita tidak menuruti kemauan mereka dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, bila mereka akan membuat kekacauan dimana-mana, apakah kamu berani menanggung resiko?”
Kyai Mbethik tertawa akan kebodohan sang penasehat, lalu ia menjawab, “sudah saya katakan tadi, bahwa semua bencana ini adalah semata-mata karena murka Allah kepada kita umat manusia. Sesungguhnya, jika Allah menimpakan marabahaya (mudharat) kepada makhluk-Nya maka tidak ada yang dapat menghindarinya, kecuali Dia sendiri. Bukan seperti yang dikatakan tuan penasehat tadi, bahwa ini adalah ulah para jin yang marah dan minta sesaji-sesaji. Musrik, musrik dan musrik orang yang menduakan Allah SWT. Memang jin, setan dan iblis selalu berusaha untuk menghancurkan iman manusia, maka ia tidak akan berhenti sampai hari kiamat (yaum al-qiyamah) tiba. Ada satu lagi yang harus diingat bahwa tidak ada yang kekal dan abadi di dunia ini kecuali Allah SWT. Karena Allah maha Kekal dan Abadi. Karena semua bencana itu adalah kehendak-Nya, maka bencana dan kematian itu tidak bisa dimajukan dan diundurkan. Kita sebagai manusia hanya bisa bertaubat dan berdoa memohon agar Allah SWT tidak menimpakan murka-Nya kepada kita dan seandainya hal itu terjadi pada kita, maka kita harapkan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah bukan su’ul khotimah.”
Hadirin terpaku mendengar ucapan kyai Mbethik. Mereka mulai menimbang-nimbang dosa dan pahala mereka selama hidup di dunia. Ada yang mukanya pucat karena merasa dosanya banyak dan ada yang tersenyum karena merasa dosanya sedikit. Salah satu hadirin yang tersenyum dan merasa dosanya sedikit adalah sang menteri urusan thoto kromo (sopan santun) dan keagamaan (MEUNTHOK). Setelah dia menghitung-hitung amal dan dosanya, dia yakin kalau dia tidak termasuk orang yang dimurkai Allah SWT. Hal itu karena dia sudah membangun 5 Masjid, 7 Musholla dan selalu menjalankan shalat 5 waktu. Sedangkan dosanya paling-paling hanya karena melakukan korupsi, itupun tidak banyak, cuma ngikutin trend dan buat bangun rumah serta beli mobil mewah saja. Masih lebih sedikit dibanding dengan pejabat-pejabat kerajaan yang lain. Rupanya sang menteri yang tersenyum-senyum sendiri sempat diperhatikan oleh kyai Mbethik. Lalu sang kyai bertanya kepada sang menteri, “kalau boleh saya tahu, apa yang membuat tuan meunthok tersenyum sendiri?” Sang menteri kaget ditanya begitu, lalu dia menceritakan alasannya tersenyum. Setelah mendengar alasan dari sang menteri, ganti sang kyai Mbethik yang tersenyum. “Apakah tuan meunthok sudah menjalankan shalat dengan benar?”, Tanya sang kyai.
“Tentu saja, memangnya kenapa?”, tanya sang menteri.
“Bagaimana cara tuan shalat?”, kembali sang kyai bertanya.
Dengan agak marah sang menteri menjawab, “tuan adalah seorang kyai dan saya sudah menjadi muslim dari lahir, juga saya adalah seorang meunthok, apa tuan masih meragukan ilmu agama saya?”
“Tolong jawab saja pertanyaan saya, tuan menteri,” kata sang kyai.
Walau dengan amat marah, sang menteri manjawab juga, “saya shalat sesuai dengan rukun sholat, dan saya melakukannya 5 waktu sehari, puaskah tuan?, dan saya selalu melaksanakan puasa ramadhan setiap tahunnya.”
Sang kyai menjawab, “tuan, anda tahu kenapa saya menanyakan ibadah tuan? Karena tuan dan para hadirin perlu tahu, bahwa banyak orang yang telah mengikrarkan syahadat Tauhid, tetapi hati dan pikiran mereka telah tertutup dari kebenaran Ilahi. Tubuh mereka memang bergerak-gerak melakukan penyembahan kepada Allah (shalat), tetapi kiblat hati dan pikiran mereka tertuju kepada taghut (materi). Perut mereka lapar dan tenggorokan mereka kehausan akibat puasa (shaum), namun mulut mereka menebar najis. Hati dan pikiran mereka mengembara kemana-mana, tidak sedikitpun tertuju pada Allah SWT. Harta benda yang mereka miliki diperoleh secara tidak halal. Saat mereka membagi-bagikan zakat, sadaqah dan infak tidaklah diniatkan untuk mendapatkan ridho Allah SWT, tetapi dengan tujuan utama mencari pujian dan kemasyhuran duniawi.”
Sang menteri masih tidak mau mengakui kesalahannya, maka dia berdalih lagi. “Tapi perlu tuan kyai ketahui bahwa saya juga sudah membangun banyak Masjid dan Musholla dimana-mana, nah apa hal itu kurang cukup untuk meyakinkan saya sendiri bahwa saya tidak termasuk manusia yang dimurkai Allah SWT? Bukankah itu merupakan amal dan ibadah juga?” Sambil tetap tersenyum sang kyai Mbethik menjawab, “tuan menteri, jangan tuan sekali-kali memanusiakan Tuhan dan menTuhankan manusia, kalau tuan berpendapat demikian berarti tuan telah memanusiakan Tuhan. Kenapa? Karena Tuhan tidak bisa disuap seperti manusia, Tuhan maha tahu segala amal dan perbuatan makhluk-Nya. Tuan mendirikan Masjid dan Musholla serta beribadah yang lain bukan karena hati nurani tuan yang bicara, bukan karena ikhlas tuan melakukannya, tapi semata-mata agar tuan tidak masuk neraka dan otomatis masuk surga dan agar disanjung serta dipuji orang lain. Saya mau bertanya kepada tuan menteri, bagaimana jika surga dan neraka itu tidak ada? Apakah tuan masih beribadah sesuai dengan perintah Allah serta masih mau mendirikan Masjid dan Musholla?” Sang menteri tidak bisa menjawab dan dengan muka lesu dia kembali ke duduk ke kursinya.
Melihat sang menteri tidak bisa menjawab pertanyaannya, sang kyai Mbethik kembali berbicara, ”saya tidak pernah menyalahkan orang yang melakukan ibadah, tapi seharusnya ibadah itu dilakukan karena semata-mata rasa terima kasih kita kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan begitu banyak kenikmatan dan kebahagiaan di dunia ini serta semata-mata kita mengharapkan ridho Allah SWT. Tidak ada pamrih yang menyertai ibadah kita. Insya Allah jika kita dekat dengan-Nya maka Allah akan memberikan banyak kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.”
Sang wakil raja Cingkarabala berdiri dan bertanya, “lalu bagaimana dengan pengertiannya menTuhankan manusia?”
Kyai Mbethik menjawab, “ menTuhankan manusia berarti menganggap manusia lain seolah-olah Tuhan. Manusia dilarang untuk menyembah kepada sesuatu selain Allah SWT, Allah maha segalanya. Manusia dilarang untuk memuja-muja manusia lain, apalagi secara berlebihan. Dan hal itu sudah sering dilakukan di negeri dongeng ini. Seorang raja dan pejabat kerajaan dihormati dan disembah secara berlebihan, mereka lebih takut kepada raja daripada takut kepada Allah. Mereka takut melakukan pelanggaran-pelanggaran karena takut akan hukuman dari raja, bukan takut kepada azab Allah. Mereka rela melakukan apa saja demi sang raja, tetapi kalau untuk melaksanakan perintah Allah, mereka masih ragu-ragu bahkan banyak yang akhirnya tidak melakukannya. Mereka jika dipanggil raja pasti akan hadir secepat mungkin dan tidak pernah berani membangkang, tetapi kalau panggilan untuk beribadah kepada Allah berupa Adzan yang dikumandangkan di Masjid-masjid dan Musholla-musholla, mereka tidak secepat mungkin untuk pergi ke masjid atau secepat mungkin untuk mengambil air wudhu dan sembahyang. Apakah itu semua tidak terbalik? Ingatlah bahwa Allah itu juga maha pencemburu, Dia tidak suka kepada umatnya yang lebih mementingkan urusan duniawi daripada beribadah dan menyembahnya. Maka sudah selayaknya kita berkaca di depan cermin, cermin yang bersih, bukan yang buram, maka kita akan tahu seberapa pantaskah kita disebut dengan manusia beriman? Dan sebagai muslim, kita harus menerapkan ajaran islam yaitu tentang kesabaran, kerelaan (ridho), keadilan (‘adl), keikhlasan, pengorbanan (qurb), kerukunan (ukhuwah), tawakal, sederhana (qana’ah) dan rendah hati (tawadhu’).”
“Bagaimana tuan-tuan, apakah ada yang belum mengerti dan mau bertanya?”, ucap kyai Mbethik.
Seorang hadirin yang duduk di sebelah kiri depan, tiba-tiba berdiri dan berkata,”tuan kyai, menurut tuan bagaimana cara mengatasi masalah wabah penyakit serta wabah kesurupan di negeri dongeng ini? Saya sebagai menteri kesehatan dan kesetanan /kesurupan (MENKESET) padahal saya sudah melakukan banyak pencegahan dan pengobatan agar penyakit-penyakit tersebut tidak mewabah atau menular.”
“Terima kasih atas pertanyaan tuan menkeset, menurut saya, pertama, semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan manusia yang membuat murka Allah SWT, seperti uraian saya tadi. Kedua, kurang tanggapnya kerajaan terhadap timbulnya gejala-gejala penyakit. Kebiasaan di negeri dongeng ini adalah bila sudah terdapat korban, itupun juga bila sudah banyak, maka barulah ada tindakan atau penanganan. Ketiga, tingkat kesulitan rakyat di negeri dongeng ini untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Bagaimana mungkin rakyat bisa mendapatkan gizi yang baik bila mereka beranggapan bisa makan saja sudah bagus. Mereka hanya berpikir yang penting kenyang. Tetapi hal itu juga dikarenakan kesulitan mereka untuk mencari rejeki, mereka tidak mampu membeli makanan yang bergizi. Keempat, terlalu tingginya biaya untuk sehat, baik itu harga obat yang mesti mereka tebus dan biaya rumah sakit yang mirip harga menginap di hotel berbintang. Dan yang terakhir yaitu kelima, kebandelan dan kekurang ajaran orang-orang yang tega memanfaatkan kesulitan-kesulitan dengan mencari untung sebesar-besarnya. Contohnya, orang yang tega menjual ayam dan burung yang sudah mati, membuang limbah dan sampah sembarangan, dan lain-lainnya.”
Sang kyai Mbethik melihat kuping sang raja, wakil raja, penasehat dan hadirin yang lain sudah mulai gosong, karena kepanasan. Lalu dia melanjutkan, “mengenai masalah kesurupan yang sering terjadi di negeri dongeng ini, menurut saya adalah merupakan sesuatu hal yang biasa, sama sekali tidak luar biasa.” Sang penasehat memotong, “tapi kesurupan itu melanda negeri ini berulang-ulang dan diberbagai tempat kejadiannya, bukankah hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa? Kenapa kamu bilang ini biasa saja? Atau jangan–jangan kamu yang membuat mereka semua kesurupan?”
Sang kyai Mbethik hanya tersenyum dituduh begitu oleh sang penasehat. Dengan tetap tersenyum dia menjawab, “kalau saya bisa membuat orang seseorang kesurupan, maka tuan raja, wakil raja dan penasehatlah yang pertama-tama saya bikin kesurupan.” Muka sang Denawa, Cingkarabala dan Togog langsung merah menahan marah. Hal itu membuat para hadirin khawatir, karena setelah kuping sang raja, wakil raja dan penasehat gosong, jangan-jangan sebentar lagi muka mereka juga akan gosong.
Sang kyai Mbethik melanjutkan, “sungguh telah berbilang tahun dan abad masyarakat di negeri dongeng ini percaya bahwa ruh-ruh setan penghuni tempat-tempat angker yang berbahaya bagi manusia. Mereka meyakini kalau orang-orang yang kesurupan itu sedang dirasuki oleh ruh setan penghuni pohon, sungai, gunung, laut, bangunan kuno dan kuburan. Padahal, apa yang mereka yakini itu hakikatnya adalah dunia khayali yang mereka bangun sendiri dengan prasangka-prasangka kosong. Yang mereka yakini adalah dunia angan-angan yang mengada karena kuatnya daya cipta mereka sendiri.”
“Ketahuilah bahwa sejak awal zaman ketika manusia diciptakan Allah SWT, di dalam diri manusia sudah terkumpul berbagai anasir mulai yang Ilahi, malakut, setani, manusiawi sampai hewani. Itu sebabnya, anasir setani, yang membuat seseorang kesurupan, sejatinya bukanlah anasir yang berasal dari luar diri manusia. Setan-setan yang merasuki bukanlah ruh-ruh gentayangan penghuni tempat-tempat angker. Sebab sejatinya, anasir-anasir setani itu sudah ada dalam diri manusia sejak awal zaman. Anasir setani itu mengalir bersama aliran darah manusia. Setan ada di dalam tubuh manusia. Setan itulah yang membuat was-was hati manusia dan mendorong-dorong serta membujuk manusia untuk menekuk kaki, tubuh dan kepala manusia agar bersujud kepada selain Allah. Setan di dalam diri manusia itulah yang telah membuat lengah manusia dengan menunjuk keberadaan bayangan dirinya yang seolah-olah bersemayam di pohon-pohon, sungai-sungai, gunung-gunung, laut, bangunan-bangunan kuno dan kuburan-kuburan. Setiap orang yang terperdaya oleh bujukannya akan mengikuti bisikannya sehingga mereka tidak mengetahui dimana sejatinya ruh setani itu berada.”
“Kiblat kebenaran yang sejati ada di dalam kalbu manusia. Dengan kiblat yang benar, manusia akan menjadi penakluk segala ciptaan, karena manusia adalah wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Maka mulai sekarang hendaknya manusia jangan lagi takut terhadap bayangan setan yang akan menggiring kiblat hati dan pikiran manusia dari jalan kebenaran.”
Sang penasehat bengong, melongo dengan mulut menganga dan sedikit ngiler, mendengar penjelasan sang kyai Mbethik. Sedang sang raja Denawa dan sang wakil raja Cingkarabala hanya menggaruk-garuk kepala tanda belum mengerti penjelasan sang kyai. Sang kyai Mbethik maklum akan ketidak pahaman mereka, karena selama ini hati dan pikiran mereka lebih banyak tertuju kepada materi (taghut).
“Sebagai wakil Allah di muka bumi, manusia akan bisa menjadi penakluk setan yang selama ini ditakuti,” ucap sang kyai. “Bagaimana caranya?”, tanya sang menkeset.
“Begini, mula-mula arahkan kiblat kesadaran kita ke dalam kesadaran kita sendiri. Renungkan, rasakan, resapi dan hayati keberadaan anasir setani yang bersembunyi di dalam diri kita. Sebab setan yang berada di dalam diri kita itulah setan yang sejati, bukan bayangannya yang menciptakan angan-angan kosong di luar diri kita. Renungkan, rasakan, resapi dan hayati keberadaan anasir setani di dalam diri kita yang panas membakar laksana api yang darinya setan dicipta. Renungkan, rasakan, resapi dan hayati anasir api yang mengobarkan sifat takabur, iri, dengki, amarah, cemburu dan dendam kesumat dalam diri kita yang salah satu gerbangnya terletak pada indera pendengaran kita. Jika kita telah mengetahui dan menangkap keberadaan setan beserta sifat-sifat dan af’alnya di dalam diri kita masing-masing, maka mudahlah bagi kita untuk menaklukkannya. Sebab bagaimanapun rapi setan menyembunyikan diri, kita telah mengetahui jati dirinya. Itulah yang aku sebut dengan kemenangan menaklukkan setan. Karena setan tidak berdaya menghadapi orang-orang yang sudah mengetahui dan mengenal jati dirinya,” sang kyai Mbethik menjawab panjang lebar.
Sang menkeset mengangguk-angguk seolah-olah mengerti, padahal sumpah mati dia tidak paham apa yang dijabarkan kyai Mbethik, malah dia menganggap uraian dari sang kyai bagaikan dongeng pengantar tidur belaka. Sedangkan sang penasehat Togog merasa ditampar mukanya dengan uraian sang kyai tadi. Karena selama ini dia merasa menjadi orang yang paling pintar se-negeri dongeng, tiba-tiba sekarang muncul seorang pemuda yang membuat dia seolah-olah menjadi orang paling bodoh di negeri dongeng. Semua uraian dari sang kyai bertolak belakang dengan nasehat dan uraian yang dia jabarkan tadi. Sang Togog melirik ke arah raja Denawa dan wakil raja Cingkarabala, mereka saling memberi kode, kemudian dia bertanya kepada sang kyai, “siapa sebenarnya engkau ini? Darimana asalmu? Siapa gurumu? dan darimana engkau mendapat keberanian mengungkapkan semua ini di depan kita-kita yang menjadi penguasa dan pejabat kerajaan?”
“Siapa nama saya tentu hadirin sudah tahu karena sudah saya sebutkan nama saya tadi. Asal saya juga sudah saya sebutkan tadi. Guru? Saya tidak punya guru, karena yang menjadi panutan dan teladan saya adalah Rasullullah Muhammad Saw. Saya mendapatkan keberanian karena saya sangat meyakini dan mengamalkan sabda Rasul Saw, yaitu qul al haqq walau kanaa muran, katakan kebenaran itu sekalipun pahit.”
Tiba-tiba muncul pengawal kerajaan sambil terengah-engah, “ma.., maafkan saya baginda raja, di luar banyak sekali orang yang memaksa masuk ke Istana, mereka berteriak-teriak dan berusaha menerobos barisan penjaga.”
“Siapa mereka?”, tanya sang raja.
“Mereka adalah para pengungsi korban gunung chandrageni yang meletus, serta korban banjir banding,” jawab pengawal.
Sang raja Denawa melirik ke sang kyai Mbethik, lalu bertanya, ”menurutmu apa yang harus kita lakukan?”
Sang kyai menjawab dengan tegas, “bantu mereka semua, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali mereka kita bantu, bantu dan sekali lagi bantu.”
Kyai Mbethik