ZIVA (Fiction)
Beberapa orang mengira bila kita merasa senang, kita sudah berada di surga.
Beberapa orang mengira bila kita bekerja keras, kita akan mendapatkan surga dunia.
Beberapa orang mengira kesusahan manusia seperti;
Kelaparan
Kemiskinan
Penderitaan
Sakit
Adalah salah Tuhan
Mereka mengira cukup bila menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam
Apakah itu cukup?
Bila hanya merengek mengeluhkan cobaan?
Bila hanya mengemis meminta bantuan?
Mereka hanya melihat penderitaan, karena mata, telinga, dan hati mereka yang tertutup.
Apakah mereka cukup melihat berkah di sekitar mereka?
Suara yang mereka gunakan untuk mengeluh
Lidah yang mereka gunakan untuk merengek dan mencela
Hentakan nafas yang mereka gunakan untuk umpatan
Dan milyaran berkah lain yang terjadi bersamaan rengekan mereka?
Mereka tahu hanya pura-pura tidak tahu
Mereka takut menjadi penakut
Tapi mereka berani menjadi pengingkar dan pendusta
Itulah yang sahabatku ajarkan padaku. Yang membuatku sadar betapa manusia begitu rapuh dan lemah. Begitu kecil dan tak berdaya.
Betapa manusia tak bisa hidup tanpa Tuhan mereka...
Ini kisahku. Berawal di suatu musim gugur di South High school California, USA
....
Caroline Mcphee
MIT university
CHAPTER# 1 – ZIVA
“Carol! Psst…!” Aku menoleh, terkadang suara desisan Lucy benar-benar seperti ular sungguhan. Aku menaikkan kedua bahuku, sambil menggumamkan ’apa?’
”Mulutmu terbuka,” Lucy menunjuk ke arah bibirnya sendiri yang semerah ceri. Yah, sedikit gerakan dapat membuat gadis lain iri termasuk aku. Bibirnya seksi.
”Well, bukannya wajar. Mulut memang bisa buka tutup kan?” Aku tersenyum. Menyedihkan. Karena itu lelucon pertamaku pagi ini.
Lucy menatapku seperti melihat idiot. Aku tersinggung.
”Oke! Aku sedang melamun, kau puas?!” Nada suaraku sedikit meninggi. Lucy tak peduli. Ia tahu apa yang sedang kupikirkan.
”Memikirkan Zach, huh? Dia pergi dengan Brianna semalam.”
Aku merasa tak perlu menanggapi yang satu itu. Karena aku memergoki mereka bermesraan di dekat perpustakaan siang sebelumnya. Dan jujur saja, aku merasa seperti kotoran.
”Kau sudah dengar?” Karena Lucy sudah mengganti topik, aku pura-pura tertarik.
”Semester ini ada murid baru.”
Perlu sepersekian detik untuk mencerna perkataannya. ”Huh?”
”Kembali ke bumi Carol!” Lucy menegurku gemas. ”Yeah,”
”Laki-laki?”
”Aku dengar perempuan.” Sudut alis Lucy turun sesaat. Setidaknya bukan aku saja yang kecewa tentang itu.
”Kalau begitu selesai perkara.” Aku menyibakkan rambut ikalku yang berwarna teh dan mulai melanjutkan PR geometri yang sejak tadi tak ku acuhkan.
”Kabarnya dia jenius.”
”Kalau begitu seharusnya dia sudah ada di Harvard university sekarang. Bukannya terdampar di south high school CA seperti kita.”
Lucy tak melanjutkan. “Begitu yang kudengar.”
”Apa?”
”Dia seharusnya mahasiswa beasiswa di Harvard. Tapi, karena satu dan dua hal... aku tak mengerti apa itu...” Lucy melanjutkan, ”Dia terdampar di sini. Oh, dan umurnya 16 musim panas ini.”
”Wow,” Aku bersiul. ”Aku penasaran dengan ’satu atau dua hal itu’... yang jelas sekarang Dorkie harus berusaha keras untuk peringkat satu.”
Dorkie, pria berkacamata tebal yang duduk di samping depan jendela. Ia selalu memakai kemeja cerah dengan kancing menutupi leher, celana pensil, dan yang paling membuat semua orang geli adalah kawat giginya. Itu seperti helm tim futbol.
Setidaknya ia pintar, dan baik hati karena memperbolehkanku meminjam PR geometrinya. Ah, dan tak seorangpun di kelas mengetahui nama aslinya. Ia dipanggil Dorkie sejak kelas satu.
”Menurutmu dia seperti itu?” Lucy menunjuk ke arah Dorkie. Tampangnya lebih melecehkan daripada pandanganku.
”Kau berharap apa? Tipe cheerleader? Brianna types?”
”Lucu,” Lucy menyeringai.
Sosoknya merupakan sosok yang sulit dilupakan
Karena kekhasan dalam sikap berdirinya
Dia memancarkan keyakinan
Sesuatu yang tak dimiliki satupun di sekolah ini
Dan aku tak tahu apa itu
Hingga sekarang
Aku menganga. Dan aku sadar, Lucy juga menganga. Semua anak di kelas ternganga. Ini karena murid pindahan yang baru Lucy bicarakan beberapa menit lalu.
Dia perempuan. Ya.
Jenius. Ya, Mr. Fug sudah menceritakannya tadi. Tentang IQ nya yang menembus rata-rata dan beasiswa di Harvard dengan jurusan Fisika nuklir. Ya ampun...
Yang membuatku ternganga adalah dia memakai sesuatu...
Sesuatu di kepalanya yang membuatnya berbeda. Aku merasa pernah melihat yang seperti itu sebelumnya dipakai biarawati di gereja, tetapi yang ini berbeda modelnya...
”Namaku Ziva Latifa. Sebelumnya aku bersekolah di Ceko dan besar di London. Nice to meet you.” Perempuan bernama Ziva itu tersenyum.
Aku mengernyit.
”Hey, Lucy!” Lucy menoleh cepat. Seperti akan mengajukan 100 komentar segera. Tetapi aku memberi isyarat dan bertanya duluan.
”Apa dia biarawati?”
”Bukan, pertamanya aku kira juga begitu. Penutup kepalanya unik. Tapi, aku ingat... itu yang biasa dipakai orang-orang Timur Tengah. Kau pernah menonton tv tidak sih?”
Entah. Surf di internet lebih menggoda daripada menonton 56 channel membosankan.
”Sir?” Dorkie mengacungkan tangan. Aku menggerutu, pelajaran belum dimulai dan dia sudah mulai bertanya.
”Kalau boleh aku bertanya pada err...”
”Ziva.” Suara jernih gadis itu menyambar. Itu suara yang tak dibuat-buat. Dan aksen Rusianya hampir tak berbekas. Mungkin London lebih melekat di dirinya.
”Ya, miss Ziva. Apa yang kau kenakan di kepalamu? Maaf kalau kurang sopan.”
Itu menarik, karena ini pertama kalinya aku tertarik dengan pertanyaan si kacamata tebal itu. Dorkie anak tersopan di south high school ini. Dan yeah….! Aku juga ingin tahu!
Ziva hanya tersenyum. Setelah berterimakasih pada Dorkie. Cara berterimakasihnya mungkin biasa saja, tetapi menurutku berjuta kali lebih menyenangkan dibanding permintaan maaf Dorkie. Aneh.
Aku masih mengingat jawaban yang tak terlupakan itu.
”Aku seorang muslim. Dan aku bangga akan itu.”
Ziva menjawab dengan suara menyenangkan. Tak ada keraguan ataupun jeda dalam jawaban itu. Aku yang awam juga bisa merasakan kepercayaan diri yang besar dari jawaban itu.
Muslim? Moslem? Apa itu?
Aku menoleh pada Lucy. Kernyitan di dahi Lucy lebih dalam.
Semua anak di kelas membisu. Sepi, hingga Mr. Fug mencairkan suasana dengan mengadakan ulangan tiba-tiba.
Mungkin karena aku terlalu asyik berpikir, hingga tak sadar perkenalan Ziva sudah selesai. Dan dia duduk di seberangku. Tepat di seberang belakang tempat dudukku.
”Carol! Mana salinan Geometri kemarin? Aduh, aku benar-benar tak siap dengan ini! Mr. Fug sialan! Gee!” Lucy terus mengumpat sambil menyobek catatannya menjadi serpihan kecil yang mudah disembunyikan.
”Hey, bisa kau tenang sedikit? Aku rasa salinannya tercampur di catatan Dorkie,... hah! Ini hari sialku!” Aku gelisah hingga tak sadar hampir menggunduli rambutku. Yeah, geometri seperti neraka...
Sementara aku melewati jam pelajaran dengan gelisah dan frustasi, Ziva yang duduk di belakangku tersenyum lembut.
Kayak hari ini kurang buruk saja!
Hari ini bertambah buruk bila harus mengingat menu makanan kantin hari ini. Hati sapi... ya ampun! Tak pernah berpikir yang lebih menjijikkan dari hati sapi! Seperti menelan seluruh organ dalamnya saja!
”Itu agama mayoritas di Timur Tengah.”
”Huh?” Aku terkejut karena nada bicara Lucy yang mulai seperti dorkie.
”Kau pernah mendengar agama yang bernama islam?”
Aku memeras otak. Yeah, sepertinya pernah mendengar itu di radio. Siapa yang dapat melupakan tragedi 11 September? Mungkin satu dua kali agama itu pernah disebut.
”Yeah,” Aku mengangguk.
”Itu kepercayaan Ziva.”
Aku tak bereaksi. Mukaku masih pucat mengingat hati sapi di kantin.
”Kau tak berkata apa-apa?”
”Memang aku harus apa?”
Lucy menggeleng cepat.
”Aku mendengar itu agama radikal. Teroris yang sering membom kedutaan-kedutaan Amerika kabarnya dari Timur Tengah.”
Sekarang aku mulai memahami maksud Lucy.
”Kata orangtuaku mereka hanya sekumpulan orang gila membawa bom lalu meledakkan diri bersamanya.”
”Bom bunuh diri?”
”Yeah,”
Konyol. Tidak, ini tidak konyol. Lucy mulai membicarakan SARA di sini.
“Kau percaya ada teroris di California?”
“Dia tak tampak seperti pembawa bom.” Tenggorokanku tercekat. Pernah kulihat berita di beberapa channel internasional tentang tragedi bom bunuh diri di berbagai negara. Termasuk World Trade Center. Mereka bunuh diri dengan pesawat. Dan membawa ratusan kematian.
“Sama saja.” muka Lucy tak enak.
”Kau mulai terdengar seperti Brianna. Memilah-milah mana orang yang harus kau dekati dan yang bukan. Kau tahu, Brianna menganggap orang-orang seperti kita itu vermin.”
Aku berceloteh. Cheerleader sekolah memang biang kerok pencetus status quo.
”Aku tak berkata seperti itu, Carol. Hanya aku tak suka terlibat dengan hal seperti ini. Aku rasa orangtuaku juga bakal tak suka.”
”Mereka yahudi kan?” Aku melanjutkan. Lucy hanya mengangguk sesaat. Membicarakan Ziva menimbulkan atmosfer yang tidak menyenangkan.
”Aku tau ’satu atau dua hal’ yang membuat dia terdampar di sekolah ini. Harvard university... pasti mempertimbangkan masak-masak menerimanya. Fisika dan nuklir! Ya.... seandainya dia warga negara Amerika dia pasti sudah dipuja puja dan melenggang memasuki harvard!”
”Yah...” Tanggap Lucy dengan malas.
”Dan kalau dia tak memakai penutup kepalanya.”
Hari itu merupakan hari pertama aku berbicara dengannya, Ziva Latifa
Ulangan susulan geometri. Membuat kepalaku serasa mau pecah. Mr. Fug selalu terlihat menyeramkan bila sedang memegang spidol merahnya. Siap menandai kertasku dengan sentuhan huruf alfabet ’F’ besar di permukaannya.
Sialan! Mengapa salinannya harus tercampur ke catatan Dorkie sih?
Perpustakaan sekolah mulai sepi. Petugas perpustakaan sudah tertidur pulas di kursinya. Penasaran, aku melangkah ke dalam. Di bagian catalog, lampu perpus sudah dimatikan.
Perpustakaan yang sepi lumayan mengasyikkan juga. Tapi, kalau mengingat Zach dan Brianna kemarin membuatku sebal hingga mual di tenggorokan.
Mengapa Zach mau dengannya? Dada Brianna hanya seonggok silikon!
Well, pria tak peduli dengan hal itu kan? Seorang kapten cheerleader dan quarterback gelandang futbol berkencan? Halo...? bukan hal yang mengejutkan.
Meski gelap, di ruang catalog ada sebuah cermin besar. Terkadang klub balet menggunakannya untuk latihan sebentar. Itu sebelum Gym yang baru didirikan dan klub balet tersingkir oleh klub cheer.
”Carol?” Sebuah suara membuat jantungku terkesiap. Aku hampir saja terloncat dan berteriak. Tapi, ini suara jernih tadi pagi.
”Ziva?” Aku mendesis kaget.
”Hahahaha... untung kau yang datang. Aku juga sama kagetnya dengan dirimu.” Ziva mengeluarkan suara tawa renyah yang menyenangkan. Setiap gerak-geriknya terlihat gemulai dan luwes.
”Kaget kenapa?” Saat itu aku terkejut. Karena Ziva sedang melepas penutup kepalanya. Meski gelap, aku dapat melihat rambut hitamnya yang lurus, tebal, dan indah. Kulitnya berwarna putih bersih, tidak pucat. Matanya biru jernih dan bibirnya penuh. Lebih merah dibanding bibir Lucy. Dan itu alami. Pakaiannya sedikit tersikap dan menampakkan lekuk tubuh yang indah. Membuat bahkan Brianna iri. Brianna harus menyediakan dana untuk 9 kali operasi plastik supaya mendapatkan tubuh seindah Ziva.
Entahlah. Tapi ia cantik juga memancarkan aura misterius.
“Maaf, aku sedang berganti pakaian. Hanya di sini tempat yang cukup sepi.” Ziva menyibakkan rambut hitam lurusnya ke belakang telinga. Sesaat kukira telinganya runcing seperti elf, tetapi telinganya sempurna. Karena aku sedikit ragu dengan manusia yang sesempurna Ziva ini.
”Bukankah ada ruang ganti putri?”
Ziva hanya tersenyum. Aku paham. Di sana terlalu berisik untuknya. Aku berniat untuk pulang, tetapi merasa tidak enak meninggalkan Ziva seorang diri. Sementara penjaga perpustakaan masih tidur.
”Lain kali kunci ruangan ini.” Aku duduk di salah satu bangku tua yang penuh coretan. South high school juga tak begitu dianggap sebagai sekolah berprestasi.
Ziva kembali tersenyum. Ia mengenakan tutup kepalanya lagi. Kali ini lebih panjang dari yang tadi pagi. Bahkan kali ini hingga menutupi perut.
“Kenapa kau memakai pakaian seperti itu?” Pertanyaanku terlontar begitu saja. “Maaf,” Aku menambahkan. Sadar kalau pertanyaan itu tak dapat ditarik kembali.
”Hmmm... apa yang membuatmu penasaran?” Tak ada sedikitpun ekspresi marah di wajahnya. Ia malah membalas dengan ekspresi orang tua yang sedang meladeni anaknya. Ziva berbicara dengan nada yang menyenangkan. Hampir seperti bersenandung.
”Tubuhmu indah. Rambutmu bagus dan wajahmu sempurna. Kenapa kau harus menutupinya? Sesaat aku mengira kau seperti elf.” Ziva tersenyum maklum padaku. Aku merasa ekspresi apapun yang ia buat tak mengurangi kecantikannya.
”Kau juga cantik, Carol...” Entah itu kata penghiburan atau bukan. Tapi terdengar begitu di telingaku. Ziva mengambil nafas sesaat. Aku yakin, bukan aku orang pertama yang menanyai masalah berpakaiannya.
”Kerudung dan pakaian ini.... Seperti katamu.”
”Maaf?” Aku tak mengerti.
”Ibuku pernah mengatakan hal yang sama seperti yang kau katakan. Katanya aku cantik dan sebagainya. Karena itu aku menutupinya. Bukan ibuku yang memaksa. Tapi, akulah yang memutuskan sendiri.”
”Kau belum menjawab pertanyaanku.”
”Tentu saja sudah.” Ziva tersenyum sabar. Jawaban orang jenius selalu berputar-putar.
”Karena aku diberkahi tubuh indah, wajah cantik seperti katamu tadi. Aku menghargainya.”
Dia membuatku bingung.
”Aku menghargainya dengan menghormatinya. Tubuh ini hanya berhak dimiliki dan dipandang oleh pria yang kelak menjadi suamiku dan benar-benar mencintaiku. Aku tak ingin ini menjadi milik semua orang.” Ziva masih tersenyum.
Sekarang aku mengerti dan malu.
Dia cerdas. Mungkin Brianna menganggap Ziva sebagai orang yang bodoh, tapi aku mulai mengerti Ziva. Ia menghargai setiap jengkal tubuhnya. Bukan dengan mengumbarnya, membiarkan lelaki lain menyentuhnya, tetapi dengan cara menyimpan rapi hingga ’suatu saat’ yang tepat.
Aku mengangguk. ”Kau keren.” lagi-lagi kata-kata itu meluncur begitu saja. Keren, aku saja belum pernah dibilang begitu.
”Terimakasih.” Ziva tersenyum. Bola mata birunya memancar penuh kesyukuran.
”Kau tau betapa itu sangat berarti bagiku.”
Aku merasa seperti ingin teriak saat itu juga.
”Ah, Carol...” Aku tersadar. Dia mengingat namaku. Padahal aku belum memperkenalkan diri padanya.
”Kau juga keren...”
Pipiku terasa panas. Kini sudah ada yang menyebutku keren.
Ziva.
Hari itu aku bersyukur telah bertanya. Aku bersyukur telah menyapa. Dan aku lega.
Ziva. Seorang gadis ajaib yang aneh. Dia mengagumkan. Hanya sedikit berbeda. Itulah yang membuat hari ini, Ziva tak duduk di seberang belakang tempat duduknya. Mr.Fug memberitahu karena Ziva mengikuti kelas -khusus anak jenius di perpustakaan, ia tak dapat belajar bersama dengan yang lain di kelas.
Itu alasan yang sopan.
Aku tahu ada alasan lain dibalik itu. Dan Ziva menyadarinya. Well, kalau Ziva pasti akan menelan saja alasan itu.
”Carol,” Lucy menimpukku dengan buntalan kertas kecil. Ia gemas karena aku tak menoleh setelah berjuta-juta kali (menurutnya) dipanggil.
”Mulutmu terbuka. Lagi.”
Aku bosan. ”Yeah, aku melamun. Dan kau merusaknya.”
Lucy tak peduli dengan kalimat yang terakhir.
”Kau senggang siang ini?”
Aku mengangguk. Hingga nanti malam aku tak merencanakan apa-apa selain tidur seperti orang mati dan mengemil sundae porsi besar bekas minggu lalu.
”Aku pinjam beberapa DVD.” Lucy mengisyaratkan. Aku mengernyit. Tak biasa ia mengajakku keluar.
”Ada apa dengan kau dan Steve.” Itu kekasih Lucy yang lebih tua 6 tahun darinya. Jangan tanya ia kerja apa. Sepenglihatanku, Lucy selalu diantar dengan mercedes convertible coupe setiap pulang sekolah.
”Itu yang mau aku bicarakan.” Lucy gelisah. Ia menggigiti ujung pensilnya.
Aku mendesah.
”Well, aku senggang. Tapi tunggu setelah pulang sekolah. Aku mau ke perpustakaan dulu.” Aku penasaran. Pembicaraan dengan Ziva lumayan mengasyikkan bagiku.
”Ku tunggu di tempat parkir kalau begitu.”
Kali pertama aku berbicara dengan orang yang kucinta merupakan kali terakhir yang setimpal
Suasana di perpustakaan lebih suram dibanding kemarin. Aku tak mengerti, tapi lampu di ruang catalog benar-benar harus diganti. Lampu itu berkelip-kelip seperti ruang disko. Aku memutari rak-rak yang berisi buku referensi, bagaimanapun aku tak mau terlihat sengaja menemuinya karena satu alasan. Egoku masih terlalu tinggi untuk itu.
”Ya ampun...” langkahku berhenti tepat di depan sesosok tubuh kekar. Pria berambut pirang super tampan. Yang menjadi kebanggaan tim futbol. Tak ada yang peduli dengan isi otaknya yang bahkan tak mempu menyebutkan arti selain big mac dan kalori. Ia disukai karena ototnya dan rambut pirangnya. Zach.
Nafasku berhenti.
Bukan karena memandang makhluk tampan di hadapanku. Dia memang selalu terlihat manis setiap aku meliriknya. Rahangnya kokoh, matanya hijau dan dalam. Rambutnya pirang terang, khas Amerika. Hidungnya bengkok, tapi itu yang membuatnya tampan. Deretan gigi rapi terlihat saat ia menyeringai puas.
Tapi, karena arah pandangan Zach.
Dia melihat Ziva. Berganti pakaian.
Aku tak tahu apa yang merasukiku saat itu. Tapi aku melompat ke depan Zach dan menghalangi pandangannya. Tapi tak berhasil. Dia seperti menara pencakar langit bagiku.
”Maaf, tapi perpustakaan akan tutup sebentar lagi.” Aku menegur Zach! Ini hari yang kutunggu selama setahun penuh.
Zach tak peduli. Seakan aku kuman yang tak terlihat.
Kutampar dia dengan buku referensi yang paling berat. Itu buku kesukaan Mr. Fug.
“Hey,” Aku kira hajaran itu hanya membuatnya gatal.
”Apa perlu kuulangi?” Aku meninggikan suaraku. Sepertinya Ziva mendengar, karena dia langsung kabur sembunyi ke kolong meja yang lebih dalam.
Zach mendesah kecewa. Tontonannya selesai. Aku tau dia sangat puas tadi.
”Hey, kau nona tukang ikut campur. Kau tak ada kerjaan lain selain mengganggu orang?”
Oke, itu kesan pertama yang buruk.
”Kau tak ada kerjaan lain selain menonton perempuan?”
Itu deklarasi perang. Aku hampir menangis.
Zach siap mengeluarkan kata-kata yang lebih pedas. Tapi ia mengurungkannya. Rahangnya mengeras dan tampangnya menakutkan. Mungkin di otaknya tidak terlalu banyak menyimpan kosa kata untuk menghina. Berbeda dengan Brianna.
Zach melenggang pergi. Mungkin dia sadar aku menciut di hadapannya. Mukaku sepucat kelinci mati yang dicat putih. Ya ampuunn...
Selamat tinggal cinta pertamaku. Dia pasti sangat membenciku.
”Carol?” Suara Ziva menyadarkanku. Aku terkesiap. Tak tahu berapa lama shock dalam posisi berdiri. Ini hari yang memalukan. Aku lebih memilih ditelan bumi saja saat ini.
”Carol, terimakasih...” Saat itu aku sadar, muka Ziva memerah. Sekujur tubuhnya berkeringat. Matanya tergenang air mata. Aku rasa dia lebih takut daripada aku. Dan lebih malu. Meski menangispun ia masih cantik. Itu yang membuat mata Zach terpaku padanya.
”Dia melihatmu. Saat itu aku hanya teringat alasan mengapa kau mengenakan pakaian seperti ini kemarin. Tubuhku seperti refleks.”
”Terimakasih.”
”Kau tak perlu...” Tenggorokanku tercekat. ”Ya ampun... aku lebih baik masuk lubang saja deh.”
”Maaf, kau jadi susah.” Ziva melangkah masuk lagi ke ruang catalog. Ia membenarkan pakaiannya yang belum tertutup seluruhnya.
”Aku dengar kau belajar di ruang perpustakaan ini.” Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Aku dan Ziva sama-sama terkejut deengan peristiwa tadi.
”Begitulah.”
”Menyenangkan?”
”Menenangkan.” Ziva berkata dengan suara ceria yang dibuat-buat. Dia berusaha untuk tegar.
”Ceritakan padaku, Ziva. Boleh kupanggil kau begitu?”
Ziva mengangguk cepat. Terkadang wajahnya sangat dewasa.
”Tentang beasiswamu di Harvard.” karena aku sangat penasaran!
Ziva menanggapi dengan semangat. Ia menceritakan bagaimana ia tertarik dengan ilmu pasti dari bangku sekolah dasar. Bagaimana guru di sekolahnya menyatakan ia sebagai anak jenius yang dapat lompat kelas. 4 kali sekaligus. Dan beasiswa Harvard yang dikirimkan padanya 4 bulan lalu.
”Mengapa kau ditolak?”
”Hanya ditunda. Aku akan menunggu dengan sabar.”
Pasti ada alasan. Aku yakin itu.
Ziva terdiam sesaat. Tahu, aku mendesaknya untuk bercerita.
”Karena aku.... seorang wanita. Seorang islam yang berasal dari Ceko. Negara bekas Rusia. Itu bukan perpaduan yang bagus.” Ziva tersenyum masam.
”Gender. Keyakinan. Tempat lahir. 3 Unsur yang jelas dipikirkan masak-masak untuk mengambil ilmu nuklir.” Orang kulit hitam saja akan lebih mudah memasuki Harvard dibanding dirinya sekarang.
Aku mendengar dengan seksama. Dan terkejut mendengar Ziva menolak tawaran MIT university.
”Aku lebih suka ilmu Fisika.” jawabnya enteng. Yang benar saja!
Betapa luar biasanya gadis di hadapan ini. Mata birunya menyorotkan kecerdasan tinggi dan ketegaran yang kuat. Meski ia seorang wanita, harga dirinya mengalahkan lelaki sekalipun. Nyalinya sekuat singa. Dan kerja kerasnya sangatlah indah.
Tapi semua itu hanya menghasilkan kesengsaraan baginya.
”Kenapa kau tidak mencoba melepas penutup kepalamu?”
”Itu bukan pilihan.” Ziva menjawab tegas. Aku sampai tak dapat menyela.
Prinsipnya setegar baja. Aku heran melihatnya.
”Bukankah dengan melepasnya akan mempermudah persoalan? Kau bisa lebih mudah masuk Harvard, selesai perkara...”
”Sudah kubilang itu bukan pilihan.”
”Penutup kepalamu itu tak memberikan hasil apapun sejauh ini bukan? Mengapa kau bersikeras tetap memakainya?”
Ziva menggeleng. Seakan akan perkataanku seperti lebah yang mendengung di sekeliling kepalanya.
”Allah selalu memberikan jalan bagi hambanya yang sabar. Dan aku sudah mendapat berjuta keuntungan karena penutup kepala ini.”
Ziva membuatku merinding. Jujur saja, di keluargaku tak ada satupun keyakinan. Kami memang merayakan natal, tapi bagiku hanya untuk mengincar hadiahnya saja. Dan bagi orang tuaku hanya untuk memeriahkan suasana.
Aku atheis.
”Di keluargaku, kami tak mempunyai keyakinan apapun.” aku merespon jujur.
”Well, itu menyedihkan bukan?” Ziva memandangiku seperti binatang yang layak diberi makan. Seperti anjing kelaparan saja.
Aku merasa lebih rendah darinya.
”Aku tak melihat satupun yang menyedihkan di sini.” Aku berusaha mempertahankan serpihan harga diriku.
”Tidak. Kau hanya tidak tahu, Carol.”
”Tahu apa?”
”Manusia tidak mampu apapun tanpa Tuhan.”
Aku mengernyit. Kata ibuku itu salah satu lelucon orang nasrani. Tapi ternyata Ziva juga beranggapan seperti itu.
”Dan Carol. Kerudung ini membawa kebaikan. Aku bisa bertemu denganmu di sekolah ini. Aku senang.”
Hari itu aku belajar tentang ketegaran seorang wanita dan kekuatan di baliknya
Aku berjalan lunglai ke parkiran. Dari jauh, Lucy terlihat sebal menunggu. Yah, kayak dia tidak pernah melakukan hal yang sama denganku juga.
”Well, aku seperti sedang menunggu musim panas di Alaska saja. Habis darimana kau? Tadi aku melihat Zach. Sepertinya lagi kesal. Dia menendang ban truk monsternya keras-keras. Aku jamin akan ada yang terluka besok pagi. Mungkin Dorkie....” Lucy berceloteh. Itu setimpal.
”Kembali ke bumi... kepada Carol...” Lucy menggoda sambil memukul pelan pundakku.
”... Carol, Aku tak akan berspekulasi kau seperti ini berkaitan dengan ban truk monster Zach. Aku tak berspekulasi karena aku bodoh. Bila ada nilai G di dunia ini, Mr.Fug sudah memeberikannya padaku...”
”Lucy...” Aku memotong pelan. Lucy tahu, ini bukan saatnya bercanda.
Dengan pandangan penuh perhatian, Lucy berdiri menatapku dari atas hingga bawah lalu menarik nafas. Aku rasa dia mengira aku ada sesuatu dengan Zach tadi. Dia benar tapi juga salah. Karena sesuatu itu jelas bukan yang menggembirakan.
”Oke, ceritakan.”
Aku tak tahu apa ini saat yang tempat menceritakan kejadian tadi pada Lucy. Dalam kasus ini, berkaitan dengan Ziva. Bila tidak ia pasti bisa menceritakannya. Mungkin Lucy tak begitu menyukai anak pindahan baru itu. Aku tak yakin. Tapi, aku mulai menyukai berbicara dengan Ziva. Meski merasa jarak perbedaan kami terlalu besar.
”Sudahlah,”
”Wow... wow... Tunggu sebentar, Caroline Mcphee.” Dia mencegahku menghindar. Aku sebal dia memanggil nama lengkapku. Lucy terdengar seperti ibuku, nenekku, dan bibi May. Ketika marah. ”Ini tak seperti kau yang biasa. Kau mulai aneh Carol.”
Aku mendesah.
”Apa karena nilai geometrimu?”
Aku menggeleng. Sebuah nilai F masih bisa diperbaiki.
”Kalau begitu spekulasiku ada benarnya?”
Aku menatap Lucy dengan pandangan memohon dan memelas.
”Aku harap sebagian besar begitu.” Jawabku lemas.
Aku dan Lucy menangis bersama. Seperti pada saat kami berdua di tingkat tiga sekolah dasar ketika melihat induk kucing yang mati ketika melahirkan anaknnya.
Kami menangis keras-keras.
”Aku berharap air mataku keluar untuk hal lebih berharga dibanding film titanic, Lucy.” aku sesenggukan. Berapa kalipun ditonton film itu membuat aku dan Lucy menangis.
”Biarkan saja. Untung aku pinjam ini.” Lucy menjejalkan keripik ke tangannya. Lalu mengunyahnya seperti karet. Rasanya memang seperti karet bagiku. Mungkin karena tercampur air mata.
Lucy mengerti, aku sedang ingin menangis keras-keras.
”Huwaaa....” tangisanku bertambah keras semakin aku berusaha menghentikannya.
Aku memeluk Lucy.
”Kau tak percaya apa yang terjadi sore tadi...”
Dan aku menceritakan semuanya.
Lucy. Gadis berambut merah ceri yang aku kenal sejak sekolah dasar. Lucy yang dulu yang masih memiliki bintik-bintik merah di wajahnya sama dengan Lucy yang duduk di hadapanku sekarang. Ia mendengarkanku. Mungkin memang terkadang ia lebih menyebalkan dari ibuku atau Mr.Fug. Tapi, Lucy tahu dia adalah sahabat terbaikku.
”Kau berperang dengan pria paling berkuasa di sekolah ini.” Lucy berbicara setelah beberapa detik.
Dan menit selanjutnya ia berargumen dengan pendapat konyol tetapi serius ala Lucy. Yang aku suka dari Lucy adalah dia tak menyinggung hal yang buruk dari Ziva.
”Zach memang idiot. Makhluk yang rela menukarkan otak dengan tampang, itulah Zach.”
”Dan sekarang kukira dia pasti rela menukar tampang untuk membunuhku.” aku meringis.
”Bukan si idiot otak udang bigmac gelandang futbol 180 pound otot itu.” Sudah pasti yang Lucy maksud adalah Zach.
”Tapi Brianna..... Kau sadar? Si idiot itu pasti dengan sengaja atau tidak sengaja menceritakan insidenmu pada Brianna. Oh... Carol! Kusarankan kau tidak masuk sekolah besok!”
Aku sangat ingin begitu.
”Besok ada kelas Mr.Fug. Kau tahu bukan, kita akan digantung kalau tak mengikuti kelasnya.” membayangkan spidol merah Mr.Fug membuatku merinding hingga tengkuk.
”OH... SHIT!” Lucy dan aku mengumpat bersamaan.
Wanita yang istimewa adalah wanita yang mengistimewakan Tuhannya, orang lain, dan dirinya sendiri.
Hari yang aku kira akan seperti neraka, berjalan normal-normal saja. Jauh dari dugaanku.
”Kau masuk ke kelas musik hari ini, Lucy?” aku bertanya karena dia selalu membolos kelas Mrs.Fish. Wanita gemuk berwajah ikan (menurut Lucy) yang selalu mengomeli nada melayang yang dinyanyikan Lucy.
”Aku pass...” Lucy mengambil tasnya.
”Oke, sampai jumpa di kelas biologi kalau begitu. Ah, kudengar hari ini kita membedah ikan.”
Lucy tertawa. ”Itu leluconmu yang terbaik, Carol. See you,”
Sebenarnya aku lebih suka berjalan ke ruang seni musik bersama Lucy. Aku merasa aku seperti memiliki tameng bila bersama Lucy. Koridor sekolah seperti medan perang beranjau. Apalagi koridor loker Zach.
Aku berjalan seperti diseret angin. Tak peduli dengan sekelilingku, aku ingin cepat-cepat melewati neraka ranjau ini. Ya ampun... arah jam dua tepat loker Zach.
Brianna! Dan Ziva ada di hadapannya. Ayolah! Kenapa gadis itu tidak di perustakaan saja sih?
Aku bersembunyi di tembok seberang. Percakapan mereka berdua tak terdengar. Murid-murid yang melewati mereka menatap dengan aneh. Tapi tak ada yang berani untuk tinggal menonton pembicaraan mereka. Dari jauh mereka berdua sungguh ’kontras’
Seandainya Ziva memperlihatkan lekuk tubuhnya pada Brianna, cewek cheer itu pasti akan menjatuhkan rahangnya! Haha!
Apapun pembicaraan mereka berdua pasti tidak menyenangkan.
”Oke, Carol! Ini tak ada urusannya denganmu! Kau hanya lewat dan pergi kelas musik. Tak perlu berurusan dengan Brianna!” Hari itu dengan Zach sudah cukup. Mungkin sekarang pria itu terdampar di kamar mandi karena kebanyakan makan bigmac.
Zach keluar dari arah kamar mandi cowok. Ia menghampiri Brianna dengan langkah canggung.
Aku benci menjadi penakut. Apa-apan pemandangan itu. Ziva mungkin memang jangkung seperti model, tapi tubuhnya ramping. Dan dia diapit oleh Brianna dan Zach. Apalagi namanya kalau bukan intimidasi? Semoga Ziva tahu dia berbicara dengan siapa.
Dari jauh terlihat Ziva menepis tangan Zach yang mencoba menyentuhnya. Brianna terlihat garang. Oh... ayolah... di saat seperti ini bukannya seharusnya ada pahlawan super berbaju ketat yang datang menyelamatkan? Ke mana mereka semua?
Aku terus berharap, tapi percuma. Mungkin tak ada yang dapat bertindak kecuali aku saat ini. Ya ampun! Masa SMA ku masih 1 setengah tahun lagi, dan aku tak mau dikucilkan!
Aku melempar koin, tapi koinku sudah habis untuk beli soda tadi.
Kali ini Ziva dipepet Brianna. Ia mendorongnya ke loker. Zach seakan menikmati setiap lembar bahan yang tersingkap dari tubuh Ziva.
Mereka bukan manusia!
Aku sebal. Pada diriku sendiri. Apa aku juga manusia kalau hanya melihat dari jauh seperti ini?
”Aaarrrgggggghhhhhh!!!!” aku berteriak frustasi. Dan berbalik melangkah menghadapi koridor loker Zach.
Persetan dengan status quo!
Tapi aku juga tak berani bertatapan muka dengan Brianna.
Aku mengambil selembar scarf kain milik ibuku yang terbawa ke dalam tasku. Menurut ibuku itu norak, tapi entah mengapa mendarat di dalam tas sekolahku. Kulingkarkan scarf menutupi wajahku. Sekarang yang datang bukan pahlawan berbaju ketat. Tetapi bertopeng scarf! Hah! Itu konyol.
Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan cepat. Berlari seperti itu baru pertama kali dalam hidupku. Catatan lari 100 meterku bahkan hanya 20 detik paling cepat.
Tapi, aku tak percaya aku menggenggam tangan Ziva dan menyeretnya sepanjang koridor. Sekarang mereka aman. Tapi, aku juga merasa sia-sia saja memakai scraf ini, Zach pasti tahu kalau itu aku... yah untung dia idiot.
”Carol?”
Aku menoleh, Ziva juga terengah karena kuseret.
”Aku tidak penasaran dengan apa yang kalian bertiga bicarakan tadi.” aku menanggapi cepat.
”Tapi, kau tak tahu siapa mereka...”
”Brianna Humphrey dan Zach Collins bukan?” Ziva tersenyum.
“Mereka memperkenalkan diri?” aku mengernyit. Aku saja baru tahu nama belakang Brianna sekarang.
”Sebelum masuk sekolah ini aku sempat melihat data siswa south high school. Kau bisa melihatnya online.”
“Dan kau mengingatnya?”
“Suka tak suka. Aku selalu mengingat hal yang pernah kubaca dan kulihat.”
Itu keren. Dari dulu aku pikir Cuma pahlawan di komik yang punya kemampuan seperti itu. Biasanya itu yang dinamakan jenius super.
”Carol, terimakasih.... lagi.”
Ziva tak tahu. Aku hampir lari saat itu. Dan memilih meninggalkannya.
”Tidak juga... saat itu aku takut.” aku berbicara jujur.
”Untuk apa takut? Kita sama-sama manusia bukan?” Ziva tersenyum.
”Ziva, apa kau selalu sepositif ini?” mata biru Ziva yang jernih dan dalam mengisyaratkan banyak arti.
”Tergantung kau melihat dari sisi yang mana. Seperti waktu aku melihat data siswamu,Carol. Aku paling mengingat wajahmu. Karena aku berpikir kau orang yang menyenangkan. Makanya, aku tersenyum mendapat tempat duduk di belakangmu di kelas Mr.Fug.”
Baru kali ini ada yang bicara seperti itu tentang diriku.
“Kau terlalu baik Ziva. Apa yang mereka katakan padamu tadi?”
”Brianna sangat baik. Ia memujiku cantik, dan banyak lagi.” Aku tahu maksudnya. Brianna berbicara sarkasme. Meski aku yakin, Brianna sendiri tak tahu apa itu.
”Dan Zach. Tadi sebenarnya aku ingin mengatakannya. Oh, kasihan dia! Kau keburu menarikku sebelum aku sempat mengatakannya!” Ziva murni kebingungan. Aku ikut bingung.
”Mengatakan apa?”
”His zipper was open.”
Aku tertawa. Ziva wanita yang istimewa dilihat dari sisi manapun.
“Ngomong-ngomong, Ziva. Kau tahu nama asli Dorkie?” Ziva tersenyum. “tentu saja, Carol...”
Tak ada satu peristiwapun yang terjadi kebetulan. Apakah peredaran planet dan sistem tata surya yang rumit dan detil teratur itu pernah terjadi secara kebetulan? Peristiwa pertemuanku dengan Ziva sama dengan hal itu. Hanya satu debu dari sistem alam semesta yang sudah tersusun dan diatur oleh yang Maha Kuasa. Kejadian seperti itulah yang dinamakan ’takdir.’
Bersama Ziva tak ada satupun hariku yang berjalan tidak istimewa.
Minggu itu seperti hari Minggu biasa. Aku teronggok di depan tv sambil makan keripik kentang buatan Bibi May. Dietku selalu gagal bila ada keripik ini. Sudah pukul 12 siang dan aku merasa seperti seonggok junkfood menjijikkan di depan televisi. Mom di halaman sedang mengurus bonsainya. Dad gila bekerja dan jarang memiliki waktu luang. Mungkin keluargaku terlihat baik-baik saja tapi tidak di kenyataannya. Mom tergila-gila dengan bonsai sedangkan dad terlalu bersemangat dengan karirnya. Meski aku tidak suka, aku tak mencegah mereka melakukan hal itu. Itu tak mengubah rasa sayangku pada mereka. Ketika aku mulai menyadari bau busukku sendiri aku beranjak. Waktunya mandi.
Tidak mempunyai kekasih merupakan hal paling mengerikan. Kau tak bisa ke mana-mana pada hari Minggu atau Sabtu selain mengajak jalan-jalan dexter, anjing bulldog milik bibi May yang menurut Carol mempunyai genetik bibinya. Mereka mirip sekali. Pipi yang berayun, dan cara mereka makan.
”Carol?” Mom memanggil dari seberang kebun. Aku terburu-buru membuka pintu dapur. Bila mom memanggil saat dia di kebun, pasti pemotong rumputnya macet atau tangkai bonsainya remuk. Well, pelakunya sedang asyik menjilati diri dekat penyemprot taman. Bulldog bibi May.
”Pemotong rumputnya macet lagi?” aku mendekati mom. Tapi menyadari kalau mom tidak sedang memotong rumput.
”Tidak, dad baru saja mengolesi alat itu dengan oli. Oh, ingat perjanjian kita. Hari Minggu kau harus memanggilku Charlotte.” mom mengeluarkan senyum terbaiknya sambil menyentil hidungku. Hidungku memerah bila terkena panas. Dan suhu hari ini mencapai 37 derajat.
”Well, bonsaimu bermasalah Charlotte?”
”Tidak, Carol.” ia menggunting tangkai mengganggu dari bonsainya dengan hati-hati.
”Caroline Mcphee. Apa pendapatmu tentang menemui beberapa pria tampan malam ini?” Charlotte alias mom mulai menampakkan motif sebenarnya.
“Kita sudah membicarakan ini berkali-kali Charlotte... dan...”
“Sebenarnya akulah yang membicarakan ini berkali-kali.” Charlotte menaruh guntingnya dan memegang pundakku.
”Oh, Carol... kau anak yang cantik dan seksi. Kalau kau mau bergerak sedikit.”
Well, mulai ceramah bentuk tubuh lagi.
“Yeah, mom.” Aku menekankan kata terakhir. Charlotte mengernyit. Rambut pirangnya berombak dipotong gaya terbaru. Dan warna rambutku keturunan ayahku. Sebenarnya, meski aku tak ingin mengakuinya... dia ibu yang aneh. Dia tak mau dipanggil mom oleh anaknya sendiri. Menurut psikiaternya, itu merupakan cara pendekatan pada anak yang baik. Tapi aku tak begitu menyukainya. Maksudku, psikiater mom.
”Akan aku pikirkan. Tapi, kalau aku ada acara malam ini, rencana mom batal.” Aku memperingatkan sambil membuang muka. Dexter sedang buang air kecil di bawah pohon oak di ujung halaman.
Tidak ada yang lebih menyebalkan selain ibu yang begitu perhatian dengan jodoh putrinya! Ya ampun! Aku memang menginginkan teman kencan tapi tidak kalau Charlotte yang memilihnya!
”Carol, kau harus mandi.” Charlotte mendengus sedikit. Ia yakin bukan bonsainya yang mengeluarkan aroma busuk yang sedang dhirupnya.
”Itu yang akan kulakukan saat mom memanggilku.”
Aku berbalik dan berjalan sambil menghentakkan kaki, ingin meninju sesuatu sekarang! Apa tidak cukup hanya mendapat nilai F di pelajaran geometri? Memiliki teman yang aneh? Ibu yang menyebalkan? Anjing yang buang air seperti selang? Diet yang gagal? Sahabat yang meninggalkanmu di hari Minggu untuk kencan? Menelan satu kilo kentang yang membuat tubuhku naik 5 pound? Dan tak mempunyai kekasih di hari Minggu?
aku masuk ke kamar mandi sambil mendesah marah. Masa remaja yang memuakkan.
”Aku kira kau sedang bermasalah dengan Steve?” Carol memandang malas ke arah Lucy. Gadis mungil jelita itu sedang mengkikir kukunya. ”Yeah.” Lucy menjawab malas.
”Lalu?” Aku menyadari tak seperti biasanya aku seperti ini. Penasaran dengan urusan sahabatku. Biasanya Lucy yang selalu bercerita padaku lebih dulu.
”Kau aneh, Carol. Tak biasanya kau perhatian padaku seperti ini.” mata Lucy menyipit.
“Hanya penasaran.” Aku mengimbuh.
“Kau pernah merasakan dikatakan aku menyayangimu sebagai adik oleh orang yang kau suka?” Lucy berbicara seolah tak peduli. Tapi aku yakin, hatinya menjerit saat ia bercerita. “Lucy... maafkan aku...” Aku sedikit menyesal mengorek-ngoerk hubungan pribadinya.
“Tak apa, kau memang harus tahu. Kau sahabat nomor satuku.” Lucy tersenyum lemah.
”Apa yang terjadi selanjutnya?”
”Selain mempertahankan harga diriku dengan menahan diri untuk tidak mendorongnya dari jendela apartemen mewahnya? Aku mengiyakannya, Carol! Oh, situasinya akan berbeda bila aku 5 tahun lebih tua dari usiaku sekarang. Tapi aku akui, aku terlalu muda baginya Carol. Aku tak bisa menyalahkannya kalau dia hanya menyayangiku.” Lucy menumpahkan isi hatinya.
”Steve bukan pria jahat. Dia hanya... yah, apa namanya.... muka dua yang tak punya pendirian dan sedikit bodoh. Kebetulan saja aku menyukainya.” Lucy tertawa kecil. Aku ikut tertawa. Aku teringat dengan perkataan Ziva. Tak ada yang kebetulan di dunia ini.
”Kau akan mendapatkan yang lebih baik, Lucy Kent.” aku menenangkannya.
”Harus, pasti, dan selalu. Tapi, kau tahu Carol. Tidak bila kau belum bertemu dengan pria yang tepat.”
Aku merasa ingin melempar bantal ke mukanya saat itu juga.
Hari Senin tiba. Hari menyebalkan ketika harus memulai minggu dari awal lagi. Masuk sekolah dan sebagainya. Tapi, setidaknya tak ada kelas geometri hari ini.
”Pagi, Carol!” Lucy menyapaku dari seberang tangga. Aku ikut melambai. Dia bersama Brody pagi ini. Orang terkeren kedua di tim futbol setelah Zach. Bedanya, dia lebih pintar.
“Pagi.” Aku tersenyum mendukung. Yang terpenting sahabatku sudah kembali ceria.
“Kata Brody hari ini menunya iga panggang dengan puding. Ibu kantin sedang senang hari ini.” Lucy tersenyum. Itu menu kesukaanku. Dan seperti biasa, Lucy selalu merelakan pudingnya untukku. Terlalu banyak kalori katanya.
”Ada P.E jam ke empat.” Aku benci itu. ”Tapi Mr. Smith sedang ke Hawaii untuk bulan madu. Berarti kosong. Kau mau ikut denganku dan Brody?”
”Tidak.” Aku menolak cepat. Bila harus bertemu dengan anggota tim futbol, aku lebih memilih menenggelamkan diriku di tengah bola.
”Aku akan ke perpustakaan.” Ide itu terbersit begitu saja di benakku.
Lucy mengerti dengan masalahku. Ia tak memaksa lagi.
”Sampai jumpa kalau begitu, bye...” Lucy ke kelas bahasa Yunani begitu bel berbunyi. Sedang aku ke kelas ilmu bumi.
Aku tidak suka hari Senin karena hari itu aku tak sekelas dengan Lucy. Dan benar-benar membosankan tanpanya.
Jam keempat aku bergegas ke perpustakaan. Entahlah, tapi aku ingin teman bicara saat itu juga. Dan Ziva merupakan teman ideal untuk bicara beberapa hari ini.
Aku mempercepat langkahku ke bagian catalog. Hampir melompat, di situ Ziva sedang duduk dan menulis sesuatu. Seharusnya ia ikut P.E juga. Mungkin dia tidak tahu.
”Hay,” Aku menyapa. Seolah sudah menebak kedatanganku, hanya perlu setengah detik baginya untuk berbalik dan menyapaku.
”Halo, Carol.” Ziva tersenyum. Lampu ruang catalog sudah diganti. Aku bisa melihat senyum wanita ajaib ini lebih jelas.
“Aku sudah menunggumu.”
“Yeah, kau tak ikut P.E?”
Ziva tetap tersenyum. “Aku belum punya pakaiannya. Aku sedang menjahitnya yang berlengan panjang tentunya. Tapi, di sini lebih tenang.” Ziva menjawab sambil melanjutkan tulisannya. Aku melihat tulisan di kertasnya, penuh dengan angka.
”Apa yang kau lakukan?”
”Menghitung bobot bumi dan benda angkasa lain. Ini cukup mengasyikkan karena sudah berhari-hari aku menghitungnya.” Ziva menjawab dengan semangat. Sedang aku hanya melongo tak mengerti. Aku mengambil ilmu bumi dan tak pernah menghitung beratnya. Berbeda cerita bila aku makan seporsi burger. Aku pasti menghitung kalori yang masuk ke tubuhku bagaimanapun caranya. Oh, aku lupa... Ziva jenius.
”Hobimu unik.”
”Ini, bukan hobi. Carol....” Ziva memandang mataku. Dia selalu memandang muka orang lain ketika berbicara.
”Ini pekerjaanku.”
”Apa? Pekerjaan apa?”
”Aku membuat thesis ke harvard. Mereka berminat dan tertarik, dan ingin membelinya.”
”Kau menyerahkannya?” Seruku tak percaya.
”Ya, aku bisa bayar sekolah dengan itu.”
”Tapi, itu hasil pemikiranmu! Mereka Cuma memanfaatkanmu Ziva! Mereka bahkan tak mau menerimamu!” Aku berbicara keras, tapi muka Ziva melembut.
”Tenang Carol.... ini tak sebanding... alam semesta masih mempunyai trilyunan misteri, dan aku tak akan pernah kehabisan thesis.” Ziva menanggapi lembut. Ia tak keberatan diteriaki Carol, karena itu teriakan perhatian.
”Ziva, aku tak tahu harus menceritakan ini pada siapa...”
”Kalau begitu ceritalah...”
”Apa pendapatmu mengenai pria?” tangan Ziva berhenti menulis. Ia memandangiku seperti memandang thesis baru dalam kepalanya. Lebih tepat mengobservasi.
”Ciptaan yang hebat dan mereka kuat untuk melindungi kita, para wanita.” itu pendapat yang sopan, umum, singkat, tak terbaca, dan tanpa gairah. Ziva tak berkomentar lebih jauh, sehingga aku melanjutkan.
”Menyedihkan, kau tahu. Melewati hari Sabtu tanpa lelaki selain yang berekor.” Ziva tertawa. Dia tertawa seperti bernyanyi.
”Carol... jangan memandang dirimu terlalu rendah. Kita semua sama! Dengar, wanita adalah ciptaan yang spesial karena dilimpahi begitu banyak kasih sayang. Kita diberkahi kepekaan yang lebih untuk menyayangi. Gunakan berkah itu, Carol... tersenyumlah. Kau tahu? Dengan itu semua akan baik-baik saja.” Ziva berbicara eksplisit. Aku menyimpulkan dia menghindari topik tentang pria. Aku menghormati itu.
”Ziva... bagaimana kau bisa sepositif ini? Kau makhluk paling positif yang pernah aku temui.”
Ziva hanya tersenyum sambil melanjutkan menulis thesisnya. Ia tak menjawab. Ia membiarkanku berpikir sendiri tentang pertanyaanku yang jujur saja, baru kali ini kupikirkan.
”Carol, untuk apa kau hidup?” Ziva memecah keheningan. Suaranya tidaklah jernih. Tapi tinggi dan serak.
Untuk apa? Aku tidak tahu!
”Untuk apa bumi dan manusia ini diciptakan?” Ziva menembakku dengan pertanyaan lagi. Seakan aku sudah menyelesaikan pertanyaan sebelumnya.
”Apa yang kau lakukan ketika ini semua sudah selesai, Carol?”
Yeah! Aku tak tahu! Jangan lanjutkan itu!
Hening lama antara aku dan Ziva. Aku tak berani memandang matanya. Ia seperti ingin menusukku dengan gemas. Aku ingin lari, tapi benakku menolak meninggalkan tempat ini. Meninggalkan Ziva. Aku tahu. Ada sesuatu di balik pertanyaan itu, yang belum aku ketahui.
Aku manusia hidup, bernafas yang menjalani kehidupan. Aku makhluk hidup. Tapi mengapa aku tak bisa mengartikan tujuan hidup? Apa serumit itu? Semenit lalu aku yakin dengan kehidupanku. Tapi setelah Ziva bertanya tentang kehidupan padaku, apakah hidupku akan sama lagi? Percaya diri aku tahu seluk beluk kehidupan? Percaya diri dengan materi yang mengelilingiku? Ziva sudah memberiku sinyal, dan aku berkeringat. Aku takut mengakui, kalau aku manusia tak berdaya apapun.
Ziva merenggut pena yang ada di atas meja dan menyodorkannya padaku. Gerakannya sedikit diperkeras, tetapi menurutku tetap gemulai.
”Pegang ini.”
Aku memandang dengan pandangan bertanya.
”Apakah ini nyata?”
”Ya! Tentu saja!”
”Tutup matamu Carol!” aku menurut.
”Jangan sentuh pena ini, tutup telingamu. Tahan nafasmu.” aku menurut. Kegelapan menyerbu dan selama itu aku merasa sungguh tak berdaya.
”Lepaskan.” Ziva menarik tangan yang menutup telingaku. Aku terengah.
”Kau mengerti?”
”Apa?”
”Begitulah rasanya mati. Hanya bedanya, kau tak dapat mendengar detak jantungmu juga. Semua materi menjauhimu Carol.”
Aku merinding. Ziva mengataiku kasar. Aku tak mengerti.
”Kau menyebut pena ini materi karena kau bisa melihat, menyentuh, mendengarku, mencium, dan mengecap udara di sekitarnya. Kau menyebut ini materi hanya karena inderamu, Carol. Semua yang ada di sini tak bisa disebut materi bila tak ada otak di kepala kita. Otak kita bahkan masih bisa memprogram hal yang sama dengan komputer. Itulah materi. Seperti kau tak bisa menonton tv tanpa listrik, kau tak bisa menyebut sekitarmu materi tanpa otak kecil di belakang kepala manusia.”
Aku membisu. Tak dapat menjawab ataupun berkomentar. Dia sedang membicarakan sains bukan keyakinannya. Dan aku merasa dia benar.
Ziva meletakkan pena itu lagi dengan lembut. Ia menatapku lagi dengan sorot mata perhatian dan khawatir.
”Maaf aku berteriak dan kasar, Carol. Terkadang aku tak bisa menahan diri...” Ziva tersenyum setelah itu.
Aku tak keberatan. Toh, aku sudah mendapat pelajaran. Meski aku tak bisa menangkap sepenuhnya.
”Tadi itu thesismu?”
Ziva mengangguk. ”Harvard menolaknya, dan lebih menyukai thesis tentang bobot bumi.”
”Menurutku, tadi itu brillian.” Aku menjawab tulus. Teori semacam itu akan selalu ditolak bagi orang-orang yang menuhankan sains dan ilmu pasti lainnya.
”Terimakasih Carol.”
”Errr.... Ziva.”
”Ya?”
”Setelah mendengarkanmu, aku berpikir. Ternyata masih sangat banyak yang harus aku lakukan di dunia ini. Selain mencari pria tentunya.”
”Maaf, aku tak dapat membantu banyak tentang itu.”
”Tidak.” Aku menepis permintaan maafnya. ”Yang kau berikan padaku hari ini lebih dari cukup. Aku akan terus memikirkan pertanyaanmu, Ziva. Sampai aku bisa menjawabnya.”
Ziva memandangku dengan takjub.
”Kau... wanita yang luar biasa Carol. Kau sudah dewasa sekarang...”
Itu kehormatan tertinggi yang pernah kudengar. Ibuku saja tak pernah menganggapku dewasa, apalagi bibi May. Umurku 16 dan aku butuh pengakuan aku sudah dewasa oleh seseorang.
”Well, baru kau yang mengataiku seperti itu.”
”Hahaha.... kau wanita cerdas Carol. Camkan itu. Kau special dan kembangkan itu baik-baik. Karena, bagi orang-orang seperti dirimu, hidup ini sangat panjang dan besar seperti grand canyon. Jujur, aku mendapat macam-macam darimu. Baru kali ini aku lebih terbuka dengan orang lain.”
”Kau memandang hidupku seperti itu. Lalu, apa pandanganmu terhadap hidupmu sendiri?” Aku penasaran. Selama sedetik aku sempat merasa Ziva mengetahui segala seluk beluk dunia.
”Hidup ini begitu sebentar. Tapi, aku akan menikmati dengan caraku sendiri.”
Hari itu aku mendapat bermacam-macam dari Ziva. Selama ini aku hanya memikirkan hidupku satu hari ke depan. Tidak pernah memikirkan apa yang kulakukan ketika semua usai. Aku hanya menikmati dan menjalani hidupku tidak mengistimewakannya. Aku selalu mengeluh dan memandang segala hal yang tak kumiliki. Aku ingin membuang waktu dan hidupku begitu saja. Menganggap hidupku tak lebih dari lelucon. Setelah hari itu, aku selalu menganggap istimewa setiap degupan jantung dalam tubuhku yang bertalu talu. Aku sering mendekap jantungku menjadikan bunyi itu sebagai irama favoritku dan menghargai hidupku. Karena hidup adalah sebuah berkah dan bukti kekuasaan pencipta semesta. Aku mensyukuri telah hidup sebagai manusia.
”Mom. Dad?” hari ini Senin. Aku tak perlu memanggil mom dengan Charlotte. Padahal dad paling senang bila aku memanggilnya ’my dad’ ketika aku di sekolah dasar. Ia selalu membanggakanku kepada teman-temannya sebagai putri yang paling menawan.
”Apa sayang?” aku menyendok saladku. Dan memuntirnya, perutku tak lapar malam ini. Otakku sibuk berpikir tentang kejadian tadi siang.
”Untuk apa manusia diciptakan dan hidup?”
Dad berhenti mengunyah salmonnya dan mom berhenti mengiris tomat di piringnya. Baru kali ini aku melihat ekspresi mereka yang begitu terkejut. Mereka saling menatap sesaat.
Mom yang pertama berbicara.
”Sayang, kita tak pernah minta kehidupan. Kehidupan yang mendatangi kita.”
”...Apa yang membuat dad dan mom mempertahankan hidup ini? Apa tujuannya?”
Dad tersenyum.
”Kita hidup. Dan harus menjalaninya. Kita menghargainya, sayang....”
Aku cemberut. Itu jawaban yang tidak memuaskan.
”Apakah hidup sedangkal itu, dad? Hanya untuk menghargai? Aku tak mengerti? Apa yang kita lakukan nanti bila sudah tak ada kehidupan? Apa hanya menghilang dan tak merasa apa-apa lagi?”
”Carol,” mom menyela.
”Mungkin ini rumit dijelaskan. Tapi, aku hidup untuk diriku sendiri. Mungkin ini konyol, aku tak tahu harus bersyukur pada siapa karena telah diberi hidup.”
”Satu hal yang jelas sayang,...” dad menambahkan dengan hati-hati.
”Setelah kau lahir, kau adalah yang paling indah bagi mom dan dad. kami berterimakasih karenanya. Karena kau, bayi mungilku yang cantik. Hidup dan lahir ke dunia ini.”
Air mataku merebak. Aku menangis keras seperti suara sobekan kertas. Sesaat semua tergenang buram oleh air mata. Dad dan mom begitu mencintaiku. Begitu menghargaiku...
”Dad, mom. Aku masih tak mengerti.” Aku sesenggukan.
”Kalau begitu, pada siapa kita seharusnya berterimakasih atas kehidupan ini?”
Mom dan dad membisu.
Aku jadi memahami tatapan kasihan dari mata Ziva saat aku menceritakan aku tak memiliki keyakinan. Itu karena... hal ini. Aku seperti manusia buta yang tak tahu apa-apa dibalik materi.
Hari itu mengubah kehidupanku seterusnya. Aku menjadi sangat menghormati dan menyayangi kedua orang tuaku. Aku mencintai mereka. Setiap pagi aku selalu menyapa dengan kecupan di pipi untuk dad dan mom. Karena seperti mereka menganggapku hal paling indah, aku menganggap mereka hal terbaik dalam hidupku.
Mom sudah tak memintaku memanggilnya Charlotte. Itu peningkatan. Ia mulai belajar yoga dan memandang kehidupan dengan lebih positif. Dad menjadi lebih sering makan malam bersama di rumah. Kami bertiga menjadi mempunyai waktu untuk menonton tv atau ke taman hiburan bersama. Itu indah.
Hal yang paling indah adalah ketika dad berbicara padaku sebelum tidur pada suatu malam.
”Kita harus berterimakasih atas semua ini kepada Tuhan, Carol.”
Seperti ada air terjun di dadaku yang menyejukkan, kata-kata itu adalah kalimat terbaik yang pernah dad ucapkan. Ia menidurkanku dengan satu kecupan di pipi. Aku berharap mereka berdua akan bahagia selamanya. Dan aku tahu, aku sedang berdoa saat itu. Berdoa pada Tuhan pencipta alam.
”Ceritakan padaku, Ziva. Lebih banyak lagi.” seperti biasa, aku dan Ziva mengobrol di ruang catalog. Ia menjelaskan kepadaku dengan sabar dan mengupas mata hatiku yang buta perlahan tapi pasti. Setiap ia berbicara, ia tak pernah menyinggung tentang keyakinanku dan dia. Tapi, aku penasaran.
”Apalagi yang ingin kau ketahui Carol?” Ziva baru saja selesai menjelaskan tentang kesempurnaan penciptaan alam semesta. Aku senang mendengarnya berbicara. Seolah aku di bawa ke atas dan diperlihatkan struktur galaksi oleh mataku sendiri.
Aku berada di puncak keingintahuanku sekarang. Dan aku yakin, ini merupakan keputusan yang tepat.
”Ceritakan padaku.... Ziva.... tentang Agamamu.”
Ziva terbelalak mendengar pertanyaanku. ”Kau yakin akan hal itu?”
”Aku tak pernah seyakin ini dalam hidupku Ziva.”
Hari itu Ziva menangis. Aku tak tahu apa yang dia tangisi. Tapi, itu bukan tangisan kesedihan. Melainkan kebahagiaan tak terbendung.
Dan dia mulai bercerita...
Aku manusia yang pesimis di masa remajaku. Hanya satu keputusan yang pernah kuambil dengan hati mantap. Yaitu permintaanku pada Ziva. Itu mengajarkanku. Keputusan yang kau ambil sepenuh hati, tak pernah mengecewakanmu di akhir.
Aku bahagia telah bertanya. Aku mendengarkan dengan hati terbuka. Aku lega. Seolah hati yang luka karena rasa tak percaya selama ini tertutup sedikit demi sedikit. Ziva membawa pandanganku ke dimensi baru. Dimensi yang selama ini sangat dekat keberadaannya tapi tak pernah kusadari. Dimensi yang dapat menyembuhkan luka manusia seburuk apapun. Dimensi spiritual.
Dan akupun sembuh.
Musim berganti, tahun berjalan, dan manusia berubah mengikuti waktu. Aku berjalan di atas waktu dengan ringan. Menjalani semua dengan tujuan, berkat Ziva. Dan aku sedang memberikan pidato kelulusanku. Aku menamatkan kuliahku di MIT. Dengan nilai di atas rata-rata. Aku tak pernah meminta untuk menjadi dosen kehormatan ilmu fisika. Karena aku membenci fisika saat SMA.
Tapi sekarang, di sini aku berdiri. Di hadapan dosen, teman-temanku dan orangtuaku yang bersahaja. Aku menyampaikan pidato sesekali dengan air mata bercucuran.
”....Dan selama itu pula aku menghargai kehidupanku. Memperhatikan sekelilingku. Bahwa sesungguhnya semua memiliki maksud dan arti. Tak ada sesuatu yang tak bermanfaat. Sekecil selpun sangat besar artinya di alam semesta. Di sinilah kita. Sekecil sel di alam semesta. Berjuang menghargai hidup meski harus tersaruk-saruk untuk itu...”
Aku tersenyum sesaat. Bukannya sombong, tapi nilai rekorku di MIT akan menjadi bahan pembicaraan universitas ini selama satu tahun ke depan. Tak perlu menjadi jenius untuk mendapatkan ini. Hanya kerja keras yang manis dan keyakinan kepada Allah untuk menjalani hidup.
“Terakhir aku hanya ingin menyampaikan. Bahwa aku seorang muslim dan aku bangga akan hal itu.” Suaraku meninggi dan mengoyak atmosfer di tempat itu. Tapi, kedua orangtuaku berdiri dan memberi tepuk tangan paling meriah yang pernah mereka lakukan. Aku tahu tangan mereka pasti sakit. Raut wajah mereka yang diisi oleh garis-garis usia yang bertambah banyak tersenyum dengan tatapan yang menggetarkan hatiku. Mereka orang-orang yang kusayangi sepenuh hati. Yang menerimaku dan menghargaiku dari aku lahir hingga detik ini. Mereka tak pernah mengkhianatiku. Mereka orang tuaku. Orangtuaku yang paling aku banggakan dan kucintai.
Setelah itu, hadirin yang lain ikut berdiri dan bertepuk tangan. Aku menangis bahagia. Menangis bahagia.
Dari jauh aku masih bisa membaca gerakan bibir dad yang duduk di sebelah mom.
”Aku sangat bangga padamu, putri kecilku.”
Dan di sebelah dad, mom mengenakan kerudung hingga menutupi perut.
Aku tak bisa meminta yang lebih dari ini.
EPILOGUE
Musim panas kembali datang. Biasanya aku memilih untuk jalan-jalan di area pertokoan dekat kampus. Dan di sinilah aku sekarang berdiri di depan sebuah toko buku tua.
Aku memegang buku setebal kelingking dan menghapus debu yang menempel di sekitarnya. Terdapat bulatan merah bertuliskan best seller dan bulatan orange yang seakan berteriak ini buku terbaik sepanjang massa di covernya.
Aku tersenyum.
THE SECRET BEYOND MATTER, LATIFA ZIVA.
Ya, Dia akan selalu menjadi legenda di manapun. Kami berpisah jalan ketika lulus SMA. Aku belajar giat dan berhasil masuk MIT university. Lucy memilih universitas brekeley dan cukup berhasil menggaet pemuda kaya di sana. Aku dan Lucy masih berhubungan. Ia tak berubah. Dan kuharap tak akan pernah.
Brianna, terakhir kali kudengar dia menjadi pramusaji di Las Vegas. Sedang Zach menjadi tukang cuci piring di tempat yang sama. Mereka tak terpisahkan.
Ziva. Harvard kehabisan alasan untuk menunda sekolahnya dan dia berhasil bersekolah di sana tanpa melepas kerudungnya. Dia menamatkannya hanya dalam 3 tahun. Lalu ia meraih gelar profesor di usia 23 tahun. 21 kalau kemasukannya di harvard tak tertunda. Dia menjadi jenius baru di dunia. Setelah itu, ia menolak bergabung dengan NASA dan lebih memilih menerbitkan bukunya sendiri. Terakhir kudengar dia berada di London sekarang. Kami masih berkirim surat hingga setahun lalu.
Aku mendengar dari suaminya yang aku kenal baik. Ziva meninggal musim gugur lalu karena kanker otak. Aku belajar untuk tak merasa terkejut atas segala takdir. Tapi, aku menangis semalaman mengenangnya. Ia bahkan belum berumur 30 dan jenius! Tak ada yang bisa menyamai kehebatannya. Ia wanita yang tak pernah tak meninggalkan jejak.
Aku membuka sampul halaman pertama buku itu. Sedikit kusam karena sudah bertahun-tahun lalu.
Di halaman pertama tertulis
Aku seorang muslim dan aku bangga akan hal itu.
Di halaman kedua tertulis
Untukmu Carol, yang terbaik dan teman-temanku di South CA
Aku menangis. Aku memiliki seluruh seri bukunya. Tapi tak pernah kusentuh sejak tahun lalu. Aku merasa baru kemarin kami berdua berbicara dan tertawa bersama di perpustakaan. Seakan baru kemarin.
”Mom.” seseorang menarik rok ku.
Gadis kecil berambut hitam, bermata biru yang cantik jelita. Putriku. Berumur 7 tahun.
”Kau menangis, Carol?” Kevin menepuk pundakku dengan lembut. Pria yang kutemui di Turki. Suamiku. Aku mencintai pria ini sepenuh hatiku.
”Mom menangis?”
”Tidak, Ziva. Bagaimana kalau es krim?” aku mengusulkan. Raut wajah putriku berubah cerah dan mulai menyeret nyeretku ke arah toko es krim.
Aku tertawa dan Kevin merangkulku sambil menggandeng Ziva.
Keterangan cerpen: seperti judulnya ini hanyalah fiksi. Diceritakan dari sudut pandang seorang gadis Amerika bernama Caroline.
cerita ini menceritakan pluralisme di Amerika dan kebiasaan remaja di sana.
agama dan cara berpikir merupakan titik pusat cerpen ini.
Pencipta: Gupita
Sekolah: SMA N 1 Cilacap